(balisaja.com)-Kamis (5/11) lalu, Presiden Joko Widodo menganugerahkan
gelar Pahlawan Nasional kepada lima tokoh. Yang membanggakan masyarakat Bali,
khususnya Kota Denpasar, Raja Badung, I Gusti Ngurah Made Agung termasuk
dalam lima tokoh yang diberi gelar Pahlawan Nasional. Inilah buah perjuangan
panjang yang dilakukan pemerintah dan masyarakat Kota Denpasar agar pemimpin
perang Puputan Badung itu diakui Negara sebagai Pahlawan Nasional.
Situs resmi Pemkot Denpasar, www.denpasarkota.go.id menyebut I Gusti Ngurah Made Agung sebagai Raja Badung VII. Namun, situs www.puriagungdenpasar.com, menyebut I Gusti Ngurah Made Agung yang lahir
di Puri Agung Denpasar pada 5 April 1876 sebagai Raja Denpasar VI. Dia dinobatkan pada tahun 1902 saat berusia 26 tahun dan gugur pada 20 September 1906
saat berusia 30 tahun.
Masa-masa kepemimpinan I Gusti Ngurah Made Agung ternyata
merupakan masa-masa yang sulit. Kala itu, Belanda sedang bernafsunya untuk
menundukkan Badung. Namun, sikap ksatria nindihin
gumi yang kuat pada diri I Gusti Ngurah Made Agung membuatnya pantang
berdamai dengan Belanda.
Ini dipertegas dengan prolog
Puputan Badung sendiri yang menunjukkan betapa sikap Raja Badung yang ketika
itu dipegang I Gusti Ngurah Made Agung–selanjutnya dikenal sebagai Cokorda
Mantuk Ring Rana—dalam menanggapi sikap pongah Belanda. Tudingan Belanda bahwa
rakyat Sanur mencuri isi perahu wangkang Sri Komala milik Cina Banjarmasin,
Kwee Tik Tjiang, 27 Mei 1904 ditepis Raja Badung. Permintaan ganti rugi dari
pemerintah Belanda ditolak dan Raja Badung memutuskan untuk memilih berperang
sampai titik darah terakhir. Pilihan sikap ini pun akhirnya berkonsekwensi
gugurnya Raja Badung, para kerabat dan pengikutnya dan hancurnya Puri Denpasar
dan Puri Pemecutan. Puri Denpasar jatuh sekitar pukul 11.30 sedangkan Puri
Pemecutan jatuh sekitar pukul 16.30.
Namun, kehancuran total puri-puri
kerajaan Badung beserta raja dan keluarganya tidak serta merta membuat Belanda
bangga. Justru, muncul perasaan berdosa di antara pimpinan-pimpinan Belanda.
Kemenangan di kerajaan Badung dianggap sebagai sebuah pembantaian karena
pertempuran yang sangat tidak berimbang. Sumber-sumber Belanda menyiratkan betapa mereka menyesali peristiwa tragis di depan Puri Denpasar dan
Puri Pemecutan itu.
Betapa tidak, puputan tidak hanya
berupa peristiwa tewasnya para pejuang karena diberondong peluru Belanda.
Namun, puputan juga sebuah kesetiaan antarpara pejuang. Tak peduli anak, istri,
suami, atau lainnya, semua harus mati di medan lagi. Bila bukan di moncong
senapan Belanda, maka mereka mesti mati di tikaman keris sesama rekan sendiri.
Sungguh tragis dan cenderung mengerikan, memang.
Tak cuma sikap bela
pati dalam puputan yang pantas dikenang dari sikap ksatria Cokorda Mantuk
Ring Rana, tetapi juga kecintaannya pada sastra. Raja muda yang bersahabat
akrab dengan seorang kawi-wiku (pendeta sekaligus sastrawan) Ida Pedanda Made Sidemen ini menulis sejumlah karya sastra seperti
Geguritan I Nengah Jimbaran serta Geguritan Purwa Sanghara. Dalam Geguritan Purwa Sanghara, sang raja
menyuratkan bahwa bukan sastra, bukan pula mantra atau emas permata yang mampu
menolak sanghara atau kehancuran,
hanya satu yaitu kesusilaan budi, yang bagaikana perahu yang kukuh yang tiada
goyah diterpa angin, yang akan mampu menyeberangi lauitan sanghara.
Dan, I Gusti Ngurah Made Agung menunjukkan dengan jelas
bagaimana dirinya tidak goyah dengan sikap untuk tidak mau tunduk di kaki
penjajah. Sang raja rela kehidupannya terenggut hanya untuk menunjukkan kepada
Belanda, betapa orang Bali memilih lebih baik mati daripada menjilat kaki
penjajah.
Sungguh, sebuah pikiran yang begitu cemerlang juga
visioner. Terbukti, Bali kini dibekap dalam bayang-bayang kehancuran. Namun,
Bali hingga kini tetap merindukan pemimpin berbudi, pemimpin visioner yang bisa
merasakan penderitaan rakyatnya. Sampai di sini, kita sungguh berharap lahirnya
pemimpin visoner bertongkatkan sastra seperti I Gusti Ngurah Made Agung.
Karena itu, penghormatan terhadap sosok I Gusti Ngurah
Made Agung bukanlah semata-mata pada gelar Pahlawan Nasional. Penghormatan
terbesar kepada Raja Badung ini selayaknya ditunjukkan dengan meneladani
sikap-sikapnya, terutama tetap menunjukkan kepala tegak di hadapan penjajah Belanda.
Teks: I Made Sujaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar