Warisan sejak lama ditanggapi secara salah kaprah. Tatkala
mendengar kata warisan, yang terlintas di pikiran orang umumnya berupa hak yang
didapat dari orang tua atau leluhurnya. Karena identik dengan hak, tak jarang
warisan kemudian memicu konflik dengan sesama saudara. Bahkan, pernah terbetik
kabar seorang anak menggugat ibu kandungnya sendiri ke pengadilan hanya untuk
mendapatkan hak warisan. Hubungan kekerabatan bahkan hubungan darah pun hancur
gara-gara masalah warisan.
“Padahal, dalam tradisi Bali, warisan bukan semata-mata hak,”
kata tokoh masyarakat Pecatu, I Ketut Giriarta.
![]() |
I Ketut Giriarta (balisaja.com/istimewa) |
Sadar akan beban yang ditimpakan kepada generasi penerus,
para leluhur memberikan hak pengelolaan terhadap aset turun-temurun yang
dimiliki. Pengelolaan aset itu digunakan untuk menopang berbagai tanggung jawab
yang dibebankan kepada generasi kini.
“Di Bali muncul istilah
ngewaris. Istilah ini tidak serta-merta berarti menghaki segala hal yang
dimiliki orang tua. Istilah ngewaris
mengandung pengertian melanjutkan,” kata Giriarta.
Warisan, menurut Giriarta, bukan untuk dijual, tetapi
dilanjutkan kepada generasi berikutnya. Ini sejalan dengan konsep heritage atau warisan budaya yang
maknanya juga melanjutkan tanggung jawab merawat atau menjaga.
Dalam adat Bali, imbuh Ketua LPD Pecatu ini, warisan baru
dikelola setelah orang tua meninggal dan berbagai upacara pembersihan dan
penyucian sudah selesai dilakukan. Termasuk juga telah menyelesaikan berbagai
utang-utang yang dimiliki orang tua semasa hidup, baik utang secara sekala maupun secara niskala. Utang sekala misalnya berupa pinjaman pada pihak-pihak tertentu mesti
diselesaikan dulu agar nama baik orang tua tetap terjaga. Utang niskala menyangkut janji atau kaul yang
pernah dilontarkan orang tua tetapi belum sempat ditunaikan semasa hidupnya.
Karena itu, mereka yang menerima warisan selayaknya tidak
serta-merta menyambutnya dengan girang. Penerima warisan sesungguhnya sedang
menerima beban tanggung jawab yang berat. Jika seseorang tidak bisa mengemban
tanggung jawabnya itu, hak warisannya juga gugur.
“Itu sebabnya, mereka yang telah keluar dari keluarga atau
berpindah agama, dalam hukum adat Bali tidak berhak menerima warisan,” ungkap
Giriarta.
Beban yang lebih berat lagi, penerima warisan harus bisa menjaga warisan
yang diterima tetap bisa diwariskan kepada generasi berikutnya. Jika ini tak
bisa dilakukan, dia akan tercatat sebagai pewaris yang gagal. (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar