Peristiwa Perang Banjar, 20 September 1868 mencatatkan kemenangan laskar rakyat Banjar melawan pasukan Belanda. Namun, kemenangan dua kali itu tak banyak diketahui orang, apalagi dikenang.
20 September bukan hanya hari bersejarah bagi rakyat Badung dan
Denpasar yang mengenang peristiwa Puputan Badung, tetapi juga bagi rakyat Buleleng, khususnya masyarakat Banjar. Betapa
tidak, pada 20 September 1868, pecah Perang Banjar yang menjadi prestasi
membanggakan karena laskar rakyat Banjar di Buleleng berhasil mengalahkan
serangan ekspedisi militer Belanda. Meski sebulan kemudian perlawanan laskar
Banjar itu berhasil ditaklukkan, kemenangan di Banjar itu pantas untuk senantiasa
dikenang, jangan dilupakan.
![]() |
Ida Made Rai (Repro) |
Perang Banjar diawali dengan
ketidakpuasan elite dan rakyat Banjar atas pemberhentian Punggawa Banjar, Ida
Made Rai dan menunjuk Ida Ketut Anom, seorang Brahmana dari luar Banjar.
Keputusan ini mendapat tantangan keras dari penduduk Banjar dan desa-desa
sekitarnya. Mereka menganggap penunjukan seorang punggawa dari luar daerah
Banjar bertentangan dengan tradisi dan adat yang berlaku sejak dulu.
Usai menjalani masa
pembuangannya, Ida Made Rai kembali ke Banjar. Sadar golongan Brahmana di
Banjar serta pemuka-pemuka rakyat di desa-desa sekitarnya tidak menerima
kepemimpinan Ida Ketut Anom, Ida Made Rai pun menyatakan penentangan terhadap
pemerintah Belanda yang sejak 1860 telah menancapkan kekuasaannya di Buleleng.
Sikap Ida Made Rai mendapat dukungan dari pemuka-pemuka rakyat Banjar dan
desa-desa sekitarnya. Gerakan Ida Made Rai pun tumbuh menjadi gerakan rakyat
Banjar dan desa-desa sekitarnya.
Pada bulan April 1868,
pemuka-pemuka rakyat Banjar bersama Ida Made Rai disertai ratusan rakyat
menghadap Regent/Raja Buleleng, Gusti Ngurah Ketut jelantik di Singaraja.
Kedatangan rakyat itu menuntut agar Ida Made Rai segera diangkat menjadi
punggawa Banjar. Seperti ditulis Ide Anak Agung Gde Agung dalam buku Bali Pada Abad XIX, karena didesak
Asisten Residen Eibergen yang berkuasa di Buleleng, Raja menolak permohonan
itu. Rakyat Banjar pun tidak menghiraukan lagi perintah Raja dan secara
terang-terangan membangkang. Misalnya, perintah untuk memperbaiki jalan tidak
mereka hiraukan.
Dalam perkembangan selanjutnya,
pembangkangan yang dilakukan Ida Made Rai semakin menjadi-jadi. Hal ini
memunculkan kekhawatiran Belanda akan mengganggu keamanan dan ketenteraman
Buleleng. Karena itu diputuskan untuk mengirimkan ekspedisi militer keempat di
bawah pimpinan Mayor W.E.F. van Heemskerk.
Menurut Ida Anak Agung Gde Agung
dalam buku Bali Pada Abad XIX,
pasukan ekspedisi Belanda ini dibantu dengan satu divisi pasukan marinis,
sehingga jumlah pasukan yang tergabung untuk menyerang Banjar sebanyak 800
orang. Sementara Regent/Raja Buleleng, Gusti Ngurah Ketut Jelantik menyediakan
tenaga kuli pengangkut perbekalan dan persenjataan pasukan Belanda.
Ida Made Rai sempat hendak
berdamai dengan Belanda. Menurut Ida Anak Agung Gde Agung, pada 19 September muncul
ratusan rakyat Banjar di bawah pimpinan pemuka rakyat Kalianget, I Kamasan
membawa barang-barang makanan dari Ida Made Rai dan rakyat Banjar yang
dihadiahkan kepada pasukan Belanda. Mereka menyampaikan kepada Mayor van
Heemskerk dan Residen bahwa Ida Made Rai bersedia menyerahkan diri akan tetapi
dengan syarat dia harus diangkat menjadi Punggawa Banjar. Tawaran ini tidak
diterima oleh Residen dan malah I Kamasan ditahan berdasarkan alasan bahwa dia
sudah dihukum penjara 12 tahun oleh Pengadilan Majelis Kerta dan kemudian
dibawa ke salah satu kapal perang menunggu penyelesaian perkaranya. Setelah
peristiwa itu, Residen mengirim ultimatum kepada Ida Made Rai untuk menyerah
esok harinya. Jika tidak, Banjar akan diserang.
Ultimatum Belanda tidak membuat
gentar Ida Made Rai. Tanggal 20 September 1868 pecahlah pertempuran antara
pasukan Belanda dengan laskar Banjar dipimpin Ida Made Rai. Pertempuran di
daerah Dencarik menyebabkan Letnan Stegmen dan 14 orang serdadu Belanda gugur.
Sementara para tenaga pengangkut Belanda lari tunggang-langgang. Apalagi banyak
di antara tenaga pengangkut itu tertembak secara tidak sengaja oleh pasukan
Belanda karena mereka tidak bisa membedakan mana tenaga pengangkut yang
disediakan Raja Buleleng, mana laskar banjar.
Pasukan Belanda pun memilih
mundur menuju pangkalannya di Temukus. Serangan pertama Belanda terhadap Banjar
gagal. Mayor van Heemskerk bermaksud mengadakan serangan kedua terhadap Banjar
keesokan harinya. Akan tetapi, tenaga pengangkut yang dijanjikan Raja Buleleng
tidak muncul. Orang-orang Bali tidak bersedia
lagi sebagai tenaga pengangkut karena takut menghadapi ganasnya perlawanan
laskar Banjar.
Pada tanggal 3 Oktober 1868
kembali dilancarkan serangan kedua kalinya. Dalam serangan kali ini, pasukan
Belanda mendapat bantuan 1500 pasukan tambahan dari Raja Buleleng serta 800
orang pasukan tambahan dari Pembekel Pengastulan, Wayan Tragi. Meski begitu,
serangan ini pun berhasil dipatahkan oleh laskar Banjar yang bertempur dengan
semangat bergelora dan bersenjatakan tombak terhunus.
Belanda kembali menyerang Banjar
pada 24 Oktober 1868. Kali ini, kekalahan berada di pihak Ida Made Rai.
Pertahanannya hancur. Banyak pasukan dan orang-orang dekatnya meninggal dalam
pertempuran. Sejumlah desa yang sebelumnya mendukung perjuangan Ida Made Rai
pun menyerah kepada Belanda. Ida Made Rai dan pendukungnya kemudian mengungsi
ke Mengwi.
Belanda pun menggunakan siasat
lain untuk menangkap Ida Made Rai. Ibunda Ida Made Rai diajak menuju tempat
persembunyian Ida Made Rai di Desa Denkayu dengan perjanjian tidak akan
menjatuhi Ida Made Rai hukuman mati atau menembaknya. Ida Made Rai akhirnya
menyerah setelah dinasihati ibunya. Ida Made Rai bersama Ida Made Tamu dan Ida
Made Sapan kemudian dibuang ke Priangan, Bandung .
Sementara pemimpin-pemimpin lainnya
seperti I Dade dan I Kamasan dihukum penjara.
Kendati begitu, dua kali kemenangan laskar Banjar yang
hanya bersenjatakan tombak cukup menampar muka Belanda. Kemenangan itu juga
kembali mengangkat harga diri orang Bali setelah dua kali kemenangan yang
diraih sebelumnya dalam Perang Jagaraga (1848) dan Perang Kusamba (1849).
Kemenangan yang tidak layak dilupakan, meskipun yang gugur adalah laskar
rakyat. (b.)
Teks: Sujaya
KOMENTAR