Apa sebetulnya makna hari raya Galungan? Baca laporan berikut ini.
Boleh jadi karena dimaknai
sebagai hari kemenangan, perayaan Galungan yang jatuh pada Rabu (15/7) hari ini disambut
dengan suka cita. Namun, lontar Sundarigama
yang menjadi rujukan pelaksanaan hari raya Hindu, termasuk Galungan dan
Kuningan, mengingatkan hakikat Galungan bukan sekadar bersuka cita (magirang-girang), tetapi justru refleksi
menuju hidup yang terang-benderang (galang
apadang).
Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali, IGN Sudiana
dan pendharma wacana I Ketut Wiana
menegaskan esensi perayaan Galungan, yakni patitis
ikang jnana sandi, galang apadang mariakna byaparaning idep. Maknanya,
menempatkan ilmu pengetahuan sebagai sandaran utama pikiran dalam
menyelesaiakan persoalan-persoalan hidup dan kehidupan.
“Penyelesaian atas berbagai
persoalan hidup dan kehidupan ini harus dilandasi oleh ilmu pengetahuan dan dharma,” kata Sudiana.
Selama ini, imbuh Wiana, begitu
banyak persoalan yang membelit manusia Bali. Namun, tumpukan persoalan itu
kerap kali diselesaikan dengan pikiran yang gelap atau kotor sehingga
menimbulkan persoalan baru. Ilmu pengetahuan dan agama tidak dijadikan tumpuan
menyelesaikan persoalan hidup, tetapi lebih pada kepentingan jangka pendek dan
terkadang pragmatis.
“Ilmu pengetahuan seringkali
diselewengkan. Ilmu pengetahuan tidak digunakan untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan hidup dan kehidupan, tetapi digunakan untuk merusak alam,
menghancurkan kehidupan,” kata Wiana.
Persoalan hidup dan kehidupan
itu, imbuh Sudiana, begitu kompleks. Mulai dari kerusakan alam, kemiskinan,
keterbelakangan, penyakit, termasuk tekanan kelompok yang berbeda. Galungan
menjadi momentum untuk merefleksi sejauh mana persoalan-persoalan hidup itu
telah bisa diatasi dengan berbekalkan ilmu pengetahuan dan agama yang telah
dipelajari.
“Saat Galungan kita diingatkan
untuk memenangkan pikiran yang terang (widya)
atas pikiran yang gelap (awidya),”
kata Wiana.
Perayaan yang Bersahaja
Karena itu, baik Sudiana maupun
Wiana menegaskan keliru jika perayaan Galungan disambut dengan hura-hura atau
jor-joran. Menurut Wiana, perayaan Galungan sepantasnya dilakukan dengan penuh
bersahaja. Karena itu, kesederhanaan menjadi hal yang utama.
“Sederhana dan bersahaja, itu
yang paling penting. Kita harus mementingkan fungsi, bukan gengsi. Untuk apa
merayakan Galungan mewah, tetapi kita harus berutang. Justru perayaan sederhana
yang berasal dari kemampuan sesungguhnya itu yang jauh lebih bernilai,” kata
Wiana.
Sudiana menambahkan spirit
perayaan Galungan yang utama sesungguhnya membangun kepedulian terhadap sesama
dan kerukunan. Itu artinya, empati dan simpati terhadap lingkungan sangat
penting dijaga.
“Kurang elok jika kita merayakan
Galungan dengan hura-hura, sedangkan saudara kita yang lain banyak yang
kesusahan. Kalau kita memang memiliki lebih secara materi, sebaiknya di-punia-kan kepada saudara-saudara yang
membutuhkan,” kata Sudiana.
Wiana sepakat dengan Sudiana. Bhagawad Gita sudah mengingatkan cara
beragama yang tepat dalam zaman Kali, yakni dana
punia. “Upacara besar apalagi jor-joran sudah tidak tepat lagi dalam zaman
Kali ini,” kata Wiana.
Apalagi, imbuh Wiana, jika umat
Hindu ber-yadnya dilandasi oleh
adugengsi. Karena ingin tampil bergengsi, lantas semua kebutuhan yadnya didapatkan dengan berutang ke
sana ke mari. Akhirnya, yadnya
menjelma beban bagi hidup. Padahal, agama dihadirkan untuk meringankan beban
manusia.
Bila pun kaya, manusia Bali
diingatkan untuk tidak sombong, angkuh dengan memamerkan kekayaannya dalam ber-yadnya. Kitab suci Hindu mengingatkan
agar manusia menghilangkan papa-klesa
dalam diri.
Keangkuhan atau kesombongan yang
tercermin dalam sikap memamerkan kekayaan saat melaksanakan yadnya hari Galungan sesungguhnya
menunjukkan kekalahan mengatasi pikiran yang gelap, bukan kemenangan yang
tercermin dalam pikiran yang terang. Seseorang yang seperti itu sejatinya baru
sebatas girang magalungan, belum megalungan dengan galang apadang. (b.)
Teks dan Foto: Sujaya
KOMENTAR