Smarapura itu kota keindahan, kota penuh cinta. Mengapa?
Jika orang kerap membanggakan
Paris sebagai kota para pecinta, Bali selayaknya juga berbangga karena memiliki
kota penuh cinta: Smarapura. Sebutan kota penuh cinta bukan tanpa alasan.
Lantaran, nama Smarapura, begitu juga Klungkung, memang bermakna cinta, indah.
Gambaran dan cita-cita tentang
Klungkung sebagai kota keindahan, kota pemuja keindahan banyak ditemukan dalam
karya-karya Dewa Agung Istri Kanya, satu-satunya raja putri kerajaan Klungkung.
Gambaran tentang kota Smarapura, ibukota kerajaan Klungkung pada pertengahan
abad XIX memang terasa cenderung subjektif dari seorang raja yang juga menjadi
pengarang besar sehingga sering disebut pula kawi-negara (pujangga keraton).
Namun, bila mau menyelami lebih
dalam bagaimana segala aspek aktivitas pendakian jiwa, perawatan rohani dan
perenungan batin di kota ini pada masa itu, maka rangkaian kalimat dalam kekawin itu bukanlah semata-mata pilihan
diksi puitis yang tak berjejak pada kenyataan. Sebagai pewaris sah dinasti
Gelgel, Klungkung ketika itu, selain menjadi pusat orientasi politik Bali,
memang masih menjadi pusat kebudayaan Bali, khususnya dalam bidang
kesusastraan.
Dewa Agung Istri Kanya sendiri
merupakan raja yang memelopori sekaligus memfasilitasi kegiatan mabebasan tiap Purnama di Pura Taman Sari, Klungkung. Bila pada masa Dalem Waturenggong
lahir enam pengarang besar yakni Mpu Nirartha, Ki Dauh Bale Agung, Hyang
Angsoka, Pangeran Telaga, Ida Bukcabe, Ki Pande Bhasa serta Pandya Agra Wetan,
maka pada zaman Dewa Agung Istri Kanya juga lahir sejumlah pengarang besar
seperti Ida Pedanda Gede Rai yang disusul kemudian Ida Anak Agung Pameregan
pada masa pemerintahan Dewa Agung Putra III (1785-1903). Para pujangga dari
kerajaan-kerajaan lainnya di Bali pun menjadikan Klungkung dengan kota Smarapura-nya
sebagai tempat pembelajaran olah rasa dan olah batin. Terlebih lagi, pada masa
itu, para putra mahkota dari kerajaan-kerajaan di Bali mesti belajar dulu ke
Puri Klungkung sebelum bisa dinobatkan sebagai raja.
Karena itulah, Klungkung atau
Smarapura seringkali disebut sebagai kota bagi pemuja keindahan. Spirit ini
sejatinya memang menjadi horizon harapan ketika kota
ini mulai didirikan pascakeruntuhan kota
kerajan di Gelgel akibat pemberontakan I Gusti Agung Maruti pada permulaan abad
XVIII. Kung atau Smara sama-sama mempunyai arti “cinta” atau “keindahan”.
Namun, kung dan smara tidaklah
semata cinta dalam makna tunggal yang fisikal, tetapi cinta dalam makna yang
plural. Dalam tradisi kesusastraan Bali, kerinduan yang dalam untuk bercumbu
dengan “Dewi Keindahan” merupakan wujud perasaan cinta yang terus membuncah.
Sampai di sini, menjadi jelas
titik orientasi kultural kota Klungkung atau Smarapura saat didirikan. Titik
orientasi itu pun melahirkan spirit atau jiwa yang akhirnya mewarnai tiap gerak
sosial kultural para pemimpin (sang nata)
maupun rakyat (panjak). Rasa cinta
kepada tanah kelahiran dengan segala pesona keindahannya telah melahirkan
semangat belapati. Perjuangan di ujung pena diparipurnakan dengan membasuh
senjata dengan darah musuh. Sikap ini akhirnya ditegaskan ketika Ida I Dewa
Agung Istri Kanya memutuskan berperang dengan Belanda di desa penuh ilalang,
Kusamba, 24-25 Mei 1849 yang berujung pada tewasnya pimpinan ekspedisi militer
Belanda, Jenderal AV Michiels. Lebih dari setengah abad kemudian, spirit
perlawanan itu pun ditegaskan kembali dalam peristiwa mengerikan nan memilukan,
Puputan Klungkung, 28 April
1908 . Di sini, kehormatan dan harga diri raja dan rakyat Klungkung
dikukuhkan.
Begitulah jejak-jejak kemuliaan Klungkung yang
dibangun dari suatu kesadaran sejarah sang pemimpinnya di masa silam. Kesadaran
yang telah melahirkan keterpanggilan dan kesediaan untuk senantiasa menjaga
agar jiwa Klungkung, spirit Smarapura sebagai kota keindahan tetap terpelihara. (b.)
Teks dan Foto: I Made Sujaya
KOMENTAR