Simbol Hindu dan Bali, Pementasan Sastra, Dramatisasi Puisi, Cok Sawitri
Sastrawan Cok Sawitri mengingatkan agar penggunaan
simbol-simbol spiritual Hindu dan Bali dalam pementasan sastra perlu
dipertimbangan dengan cermat dan matang. Jangan sampai penggunaan atribut-atribut
spiritual itu tergelincir menjadi eksploitasi.
Cok Sawitri menyampaikan hal ini tatkala memberikan catatan
terhadap penampilan para peserta lomba dramatisasi dan baca puisi dalam ajang
Pekan Sastra 2015, Sabtu—Minggu (4-5/4) di Kampus Nias Denpasar. Cok Sawitri,
bersama IGA Mas Triadnyani (dosen FSB Unud) dan I Made Sujaya (redaktur sastra
dan budaya DenPost Minggu serta pengelola portal balisaja.com), menjadi juri
dalam lomba yang digelar Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Sastra Indonesia, Fakultas
Sastra dan Budaya, Universitas Udayana (Unud) itu.
“Eksplorasi dalam pementasan sastra tentu sah-sah saja.
Tapi, penggunaan simbol-simbol spiritual itu harus dilandasi pemahaman yang
benar tentang makna simbol-simbol itu. Kalau tidak, itu namanya eksploitasi dan
saya harus mengingatkan,” kata perempuan kelahiran 1 September 1968 ini.
Cok Sawitri menunjuk sejumlah simbol Hindu dan Bali yang digunakan
peserta, seperti sanggah cucuk, lis, pasepan,
serta tapel barong dan rangda. Semua
simbol-simbol itu memiliki makna dan konteks penggunaan dalam ritual dan tradisi. Karena itu, tidak bisa bisa digunakan secara sembarangan.
Menurut Cok Sawitri, kegiatan berkesenian, termasuk
pementasan sastra modern, memiliki tata krama pemanggungan yang mesti diikuti, termasuk pemanfaatan simbol-simbol spiritual dalam masyarakat.
Penggunaan simbol-simbol spiritual yang tidak tepat bisa menimbulkan reaksi
dari masyarakat yang menganggap hal itu sebagai eksploitasi.
"Kebebasan pengarang yang disebut licentia poetica pun memiliki tata kramanya, ada etikanya," tandas Cok Sawitri yang pernah berkolaborasi dengan Dean Moss dari New York dalam pementasan Dance Theater. (b.)
KOMENTAR