Setiap kali memperingati Hari Kartini yang jatuh saban 21 April,
suara tentang kesetaraan gender
senantiasa menyelusup. Kaum hawa itu
tidak saja menuntut adanya perlakuan yang tidak berbeda dengan kaum adam, tetapi juga mengharapkan
kaum perempuan juga berperan secara lebih luas dalam berbagai bidang kehidupan.
Di Bali, meski tak sekencang di
tempat lain, suara yang menghendaki adanya kesetaraan gender juga mengemuka.
Tak sedikit yang berpandangan adat Bali
kurang bersahabat dengan prinsip kesetaraan gender. Kalangan tokoh adat Bali tentu saja menampik
pandangan itu. Mereka pun menunjukkan sejauh mana tradisi Bali memuliakan kedudukan perempuan.
Namun, terlepas dari berbagai
tudingan miring terhadap adat Bali, salah satu desa Bali Aga yang cukup terkenal di Karangasem, Bali Timur, Desa Tenganan Pagringsingan
sejak lama memberikan penghormatan terhadap kaum perempuan. Tradisi di desa
yang juga menjadi objek wisata unggulan
ini sejak berabad-abad silam menganut prinsip kesetaraan gender antara
laki-laki dan perempuan. Setidaknya hal itulah yang tampak dalam hal tradisi pembagian
warisan, larangan hidup berpoligami
bagi kaum laki-lakinya serta penunjukan kaum perempuan sebagai Tu Genah yang diberi kewenangan
memimpin ritual pernikahan warga.
Desa Tenganan Pagringsingan menganut
sistem pewarisan parental. Baik anak
laki-laki maupun perempuan mendapatkan hak
waris yang sama. Tak ada pembedaan. Warisan diberikan dengan sistem
pembagian yang adil. Warisan dibagi setelah dipotong biaya upacara orangtuanya
yang meninggal. Sementara rumah yang ditinggalkan akan menjadi hak dari anak
yang terkecil. Yang diwarisi itu bukan saja harta benda. Kalau orangtuanya itu
memiliki utang, mereka juga harus menanggungnya.
Jika satu keluarga tidak
dikaruniai keturunan atau camput,
harta kekayaannya akan di-daut (diambil)
oleh desa. Selanjutnya desa yang akan mengurus harta kekayaannya. Kekayan yang
berasal dari pihak laki-laki akan diberikan kepada pihak laki-laki dan kekayaan
yang berasal dari pihak perempuan akan diberikan kepada pihak perempuan.
Perlindungan terhadap kaum
perempuan juga diberikan lewat larangan
berpoligami bagi kaum laki-lakinya. Di desa yang menjadi objek wisata
andalan ini pun para lelakinya dilarang rakus terhadap perempuan. Cukup satu
saja, tidak boleh lebih.
Pantangan ngemaduang (berpoligami) itu secara ketat diberlakukan bagi warga
yang berstatus sebagai krama desa. Krama desa merupakan kelompok warga utama di
desa yang memiliki hak untuk mengikuti pasangkepan
(rapat) di Bale Agung. Merekalah
yang berhak mengambil keputusan terhadap perkembangan desa. Begitu lelaki yang
berstatus sebagai krama desa itu
mengambil istri lagi, keanggotaan desa adatnya gugur.
Penghormatan terhadap kaum
perempuan juga terlihat dari keharusan seorang krama desa memiliki istri. Jika cerai, maka statusnya sebagai krama langsung diturunkan. Masih ada
lagi pantangan lainnya bagi warga Tenganan dalam hal perkawinan yakni tidak
boleh cerai. Bila dalam perjalanan sepasang suami istri sampai cerai, status krama desanya juga dicabut dan masuk
sebagai krama gumi pulangan.
Pasalnya, syarat menjadi krama desa
haruslah bersuami istri, harus berpasangan (bulu-angkep).
Perempuan tua Tenganan
Pegeringsingan yang sudah tidak mengalami menstruasi lagi ditunjuk sebagai Tu
Genah. Tu Genah ini semacam pemimpin ritual yang diberi kewenangan memimpin
upacara pernikahan warga.
Begitulah Tenganan Pagringsingan
yang diam-diam menampik tudingan yang menyebutkan tradisi Bali tak bersahabat
dengan hak-hak perempuan. (b.)
Teks dan Foto: Ketut Jagra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar