Gerhana bulan total 4 April 2015, Mitologi Kala Rahu
Perhatian orang sejagad kini tertuju ke angkasa raya menyaksikan fenomena gerhana bulan total (blood moon) yang bakal terjadi, Sabtu (4/4) sore ini. Meski secara astronomi, gerhana bulan merupakan peristiwa alam biasa, masyarakat tetap saja memberi perhatian khusus pada peristiwa semacam ini. Terlebih lagi, hampir semua masyarakat di berbagai belahan dunia ini memiliki mitologi tersendiri mengenai terjadinya gerhana bulan.
Masyarakat Bali juga memiliki
mitologi khusus mengenai terjadinya gerhana bulan. Tradisi lisan di Bali
menyebut terjadinya gerhana bulan karena bulan dimakan Kala Rahu, raksasa yang
hanya memiliki kepala. Masyarakat Jawa juga mengenal mitologi serupa.
Kisah Kala Rahu ini menjadi bagian akhir cerita Kurma
Awatara (penjelmaan Dewa Wisnu sebagai kura-kura untuk menyelamatkan dunia). Dikisahkan,
dalam upaya mendapatkan tirtha amertha (air keabadian), para dewa dan asura
(raksasa) bekerja sama mengaduk lautan susu (Ksirarnawa) dengan cara memutar
Gunung Mandara. Kala itulah, Dewa Wisnu menjelma kurma (kura-kura) untuk menahan
pangkal gunung Mandara. Tirtha amertha pun didapat. Tapi, pertarungan terjadi
antara para dewa dan asura untuk memperebutkan tirtha amertha itu. Dalam
pertarungan itu, asura menang dan menguasai tirtha amertha.
Dewa Wisnu pun bersiasat untuk merebut kembali tirtha
amertha. Sang Dewa pun berubah menjadi wanita cantik hingga bisa mengelabui
para asura. Tirtha amertha pun kembali ke tangan para dewa.
Kini, para dewa berkumpul untuk menikmati tirtha amertha.
Namun, ada seorang raksasa, Kala Rahu berhasil menyusup dengan menyamar sebagai
dewa. Penyamarannya itu diketahui Dewa Chandra. Tatkala giliran meminum tirtha
amertha sudah sampai ke Kala Rahu yang menyamar sebagai dewa, Dewa Chandra pun
berteriak. “Dia bukan dewa, dia raksasa yang menyamar menjadi dewa!” teriak
Dewa Chandra.
Para dewa pun terkejut. Tirtha amertha sudah diminum dewa
palsu. Tapi, tirtha amertha itu baru sampai di tenggorokannya. Dewa Wisnu pun
melepaskan senjata cakra sudarsana dan memenggal leher Kala Rahu. Tubuh Kala
Rahu pun jatuh ke bumi, sedangkan kepalanya hingga bagian leher tetap abadi dan
melayang-layang di angkasa karena sempat meminum tirtha amertha.
Merasa penyamarannya terbongkar, Kala Rahu marah besar. Dia
pun bersumpah akan menyantap Dewa Chandra yang berwujud bulan. Sumpahnya itu
memang terwujud. Tapi, karena Kala Rahu tidak memiliki tubuh, Dewa Chandra
muncul kembali. Kejadian ini selalu berulang dan dikenal sebagai gerhana bulan.
Di masa lalu, masyarakat Bali dan Jawa, biasanya akan
memukul kentongan saat gerhana bulan terjadi. Hal ini, konon, dimaksudkan untuk
mengusir Kala Rahu agar tidak berlama-lama memakan sang rembulan.
Banyak orang kini tentu menganggap kisah ini sebuah dongeng
yang tak masuk akal. Namun, dalam masyarakat tradisional, dongeng atau mitologi
merupakan bentuk pengetahuan lokal yang penting sebagai cara untuk menjelaskan
sebuah fenomena alam. Di balik mitologi kerap kali terselip pesan-pesan
sosial-kultural yang sangat bergantung pada latar belakang budaya masyarakat
pendukungnya.
Ada yang memaknai mitologi Kala Rahu sebagai pesan spiritual
tentang pertarungan dalam diri manusia: sifat-sifat kedewaan dan keraksasaan.
Manakala sifat-sifat keraksasan masih menguasai, keabadian tak akan didapat.
Namun, ada juga yang memaknai mitologi Kala Rahu sebagai
simbolisasi kuasa waktu. Kala, dalam tradisi Bali, memang merepresentasikan
sang waktu. Tiada yang mampu menahan kuasa waktu. (b.)
_________________________________
Penulis: Ketut Jagra
Foto: Repro
Penyunting: I Made Sujaya
COMMENTS