Tahun
ini, tradisi membuat ogoh-ogoh diwarnai dengan gerakan menggunakan bahan-bahan
alami. Hal ini didasari kesadaran mengenai bahasa penggunaan styrofoam atau gabus dalam pembuatan
ogoh-ogoh yang sepuluh tahun terakhir begitu marak. Padahal bahan tersebut
sangat berbahaya, mengancam kesehatan
dan juga lingkungan.
Kelian
Penggak Men Mersi, Kesiman, Kadek Wahyudita mengungkapkan, sebelum berkembangnya
kreativitas ogoh-ogoh dengan menggunakan styrofoam,
pada tahun 1990-an ogoh-ogoh masih dibuat dengan bahan seperti kayu, bambu, kain
dan kertas. Pembuatannya juga didasari pemahaman untuk menguatkan karakter
ogoh-ogoh yang berwujud bhuta, raksasa, dan yang lainnya.
Untuk lebih meningkatkan estetika dan kperaktisan, mulailah digunakan styrofoam. Namun, belum begitu banyak yang menyadari bahaya penggunaan styrofoam, apalagi dalam jumlah besar. Hasil penelitian dari beberapa lembaga menunjukkan penggunaan styrofoam dalam jumlah besar sebagai bahan kreativitas ogoh-ogoh dapat membahayakan para pembuatnya. Pasalnya, potongan-potongan berupa serbuk styrofoam yang dihirup oleh hidung dapat membahayakan paru-paru yang selanjutnya dapat memunculkan bibit kanker.
(Baca: Ogoh-ogoh Janganlah Lebay)
“Kalau
dari aspek lingkungan, sampah styrofoam
adalah sampah anorganik yang notabene
susah diurai oleh bakteri sehingga dapat menimbulkan bahaya lingkungan,” tegas
pria yang juga pemerhati seni budaya di Bali ini.
Pemerintah
Kota Denpasar pun merespons bahaya penggunaan styrofoam dalam pembuatan ogoh-ogoh. Karena, untuk pawai ogoh-ogoh
yang difasilitasi Pemkot Denpasar tahun ini, hanya ogoh-ogoh yang menggunakan
bahan alami yang dinilai. “Bahan alami kalau dibakar tidak membahayakan orang
yang menghirup asapnya. Masyarakat juga harus sadar bahwa membuat ogoh-ogoh
dengan menggunakan bahan alami merupakan sebuah tradisi yang harus dipelihara,”
terang Kepala Dinas Kebudayaan Kota Denpasar, I Made Mudra.
(Baca: Warga Renon Pantang Buat Ogoh-ogoh)
Tim Penilai Ogoh-Ogoh Kota Denpasar Tahun 2015
memutuskan ogoh-ogoh yang ikut seleksi tahun ini mesti total menggunakan bahan
tradisional yang ramah lingkungan. Bahkan, seluruh STT di Kota Denpasar
akhirnya sepakat tak lagi menggunakan styrofoam
sebagai bahan dasar membuat ogoh-ogoh. Pernyataan sikap positif dari kalangan
generasi muda ini disambut positif pula oleh pemerintah maupun kalangan
masyarakat umum. Hal ini dibuktikan dengan keluarnya keputusan bersama yang
dituangkan dalam butir-butir kreteria seleksi ogoh-ogoh tahun 2015. Para
peserta seleksi ogoh-ogoh tahun 2015 diwajibkan menggunakan bahan tradisional,
seperti menggunakan bambu untuk bahan ulatan kepala, badan atau pun lengan. Boleh
juga menggunakan bahan kayu untuk tapel (wajah), termasuk menggunakan besi
untuk rangkanya. Selain itu, untuk bahan rambut, panitia juga membolehkan
menggunakan bahan lain sepanjang bukan berbahan styrofoam. (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar