I Wayan Suartana, LPD Bali
Praktik-praktik di masyarakat
merupakan ilmu pengetahuan terbaik. Karena itu, ilmuwan yang ingin mendapat
ilmu pengetahuan terbaik mesti terjun ke tengah-tengah masyarakat, menyelami
setiap denyut kehidupan masyarakat.
Pandangan ini begitu kuat pada
diri I Wayan Suartana. Guru besar Ilmu Ekonomi di Fakultas Ekonomi Universitas
Udayana ini menilai laboratorium terbaik bagi seorang ilmuwan memang di
masyarakat karena di situlah bisa dietemukan realitas sesungguhnya.
Suartana menilai seorang ilmuwan, betapa pun jabatan akademiknya adalah seorang guru besar, berutang besar kepada masyarakat. Karena itu, kewajiban pertama dan terutama bagi seorang ilmuwan tiada lain mengabdi untuk masyarakatnya.
“Ilmu pengetahuan bersumber dari
masyarakat sehingga seharusnya juga dikembalikan kepada masyarakat. Dengan
begitu, kampus dan intelektual kampus tidak menjadi menara gading,” kata suami
Ni Made Wistawati ini.
Itu sebabnya, Suartana tak pernah
ragu ketika memutuskan memfokuskan diri untuk menekuni seluk-beluk seputar
lembaga keuangan khusus komunitas adat Bali di desa pakraman, Lembaga
Perkreditan Desa (LPD). Kendati pada awalnya banyak yang mencibirnya karena
dianggap mengambil objek kajian yang terlampau mikro dan lokal.
“Justru, di situlah tantangan
seorang akademisi. Menemukan mutiara dalam praktik-praktik lokal yang mungkin
bisa bermanfaat untuk kepentingan masyarakat dalam komunitas yang lebih besar,”
kata lelaki kelahiran Desa Pecatu, 29 Juli 1967 ini.
Saat pengukuhan guru besarnya,
Suartana juga menyampaikan orasi tentang LPD
dengan judul “Risk Based Audit
Berbasis Budaya Pada Lembaga Perkreditan Desa”. Karena itu, Suartana dijuluki
sebagai “Profesor LPD”. Suartana bukan satu-satunya guru besar Ilmu Ekonomi di
Unud yang menyampaikan orasi tentang LPD. Namun, dialah yang tergolong paling
intens menyelami seluk-beluk LPD. Selain menjadi anggota Badan Pengawas (BP)
LPD Desa Adat Pecatu, Suartana juga menulis buku LPD.
Suartana menyatakan bersyukur
karena diberi kesempatan menjadi anggota BP LPD Desa Adat Pecatu. Kesempatan
itu membuat bapak dua anak ini bisa menyelami hakikat LPD sebagai lembaga
keuangan khusus milik komunitas adat Bali yang unik dan otentik.
“Masyarakat Bali harus bersyukur
memiliki LPD karena lembaga ini bukan hanya lembaga ekonomi, apalagi sebatas
lembaga keuangan, tetapi menjadi model pemberdayaan masyarakat berbasis
komunitas adat,” kata putra I Wayan
Pugir dan almarhum Ni Wayan Soko ini.
Karena itu, imbuh Suartana,
banyak pihak yang mengagumi keberadaan LPD di Bali. Bukan hanya orang Bali,
tetapi juga masyarakat berbagai daerah lain di Indonesia, bahkan luar negeri.
Suartana menuturkan dirinya memaparkan keunikan LPD di Bali saat menjadi
pembicara dalam Konferensi Internasional tentang Risk Based Audit Berbasis
Budaya di Bangalore India, November 2014 lalu. “Respons orang asing terhadap
LPD sangat positif. Banyak yang ingin belajar kesuksesan LPD,” kata Suartana.
Namun, Suartana tiada henti
mengingatkan, segala puja-puji terhadap LPD tidak boleh membuat masyarakat
Bali, khususnya pengelola LPD, lalai apalagi terlena. Sebagai lembaga keuangan,
LPD amatlat rentan dengan risiko. Apalagi jika aset LPD semakin berkembang,
tingkat risikonya juga semakin besar. Karena itu, jajaran pengelola LPD mutlak
memahami aspek pengelolaan risiko LPD dengan baik. (b.)
____________________________
Penulis: Ketut Jagra
Foto: Istimewa
Penyunting: I Made Sujaya
KOMENTAR