Hari Siwa Ratri, Dewa Siwa, Majagra
Catatan Ketut Jagra
Manusia kerap disebut sebagai makhluk tidak sempurna. Salah satu
ketidaksempurnaannya, yakni sering dan mudah lupa. Jangankan sesuatu yang sudah
terjadi puluhan tahun silam, terhadap peristiwa yang dilalui beberapa saat lalu
pun manusia kerap kali begitu susah untuk mengingatnya. Tidak hanya sering dan
mudah lupa terhadap apa yang dilakukannya, manusia juga teramat sering lupa
dengan kesejatian dirinya.
Kedua pesan ini terasa amat
sederhana, memang. Namun, pesan itu sungguh tidaklah sederhana makna. Tutur, dalam kosa kata Jawa Kuno
bermakna ‘ingat’. Makna ini diselaraskan dengan makna kata jagra yakni ‘sadar’. Logikanya, hanya orang yang sadar yang bisa
ingat. Terlebih lagi ingat akan hakikat jati diri (yan matutur ikang atma ri jatinya).
Kesadaran akan hakikat jati diri
itu akan mendorong pada kesadaran untuk senantiasa ingat kepada asal mula dan
ke mana kita akan kembali (sangkan
paraning dumadi). Suatu pemahaman yang bisa disepadankan dengan kesadaran
seorang sajjana yang senantiasa tan
wismreti sangkan nikang hayun teka (tidak pernah lupa dari mana datangnya
anugerah dan kerahayuan itu). Artinya, kesadaran pada wilayah duniawi akan
segera dijemput pula dengan kesadaran pada wilayah rohani.
Lantas, manakala orang-orang tua
di rumah berucap, ngeraos ento aluh, sakewala nutur ane keweh, barangkali
segera akan bisa kita pahami. lantaran, esensi orang nutur tidak semata ucap, tapi apa isi ucapan itu. Terpenting lagi,
seberapa ucap itu mampu membangunkan kesadaran seseorang.
Dari sini pula barangkali bisa
kita pahami pula mengapa para orang tua kita di Bali dalam kegiatan nyastra senantiasa menjadikan naskah-naskah
tutur sebagai wilayah perburuannya. Tutur sendiri merupakan jenis naskah
kesusastraan Indonesia
asli yang prinsipnya memuat ajaran kerohanian. Tutur itu sendirilah yang akhirnya bertutur dalam wilayah diri sang
sujana yang mengakrabinya.
Kata tutur kini menjadi menarik untuk dibincangkan manakala Senin (19/1)
hari ini umat Hindu merayakan hari suci Siwaratri. Dalam lontar Siwaratrikalpa yang menjadi pegangan
dalam pelaksanaan brata Siwaratri, kata tutur
mendapat perhatian penting. Saat hari keempat belas paruh gelap bulan ke tujuh,
umat diingatkan untuk majagra, melek
semalam suntuk menuju keadaan tutur
(sadar).
Manusia dipersepsikan berada
dalam belenggu raga (objek indria, nafsu), dinyatakan sebagai orang yang tidur (aturu atau tan atutur). Orang yang tidur adalah orang yang tidak sadar, lupa;
tidak sadar atau lupa pada hakikat jati dirinya. Dia penuh dengan kegelapan
hati, kehilangan kesadaran rohani. Orang yang tanpa kesadaran rohani disebut sawa. Sawa berarti ‘jazad’ yaitu simbol orang yang tidak memahami
kenyataan sejati, orang yang mati. Hidup tanpa kendali kesadaran rohani dapat
disamakan dengan orang dalam keadaan kesadaran sawa.
Untuk mengubah kesadaran sawa itulah, dilakukanlah pemujaan ke hadapan
Siwa dengan tetap terjaga (tutur)
dalam kesadaran pada hakikat jati diri. Karena Siwa adalah dewa pemaaf. Kata siwa dalam bahasa Sanskerta berarti
‘baik hati, pemaaf, membahagiakan dan memberi banyak harapan’. Selamat Hari
Suci Siwaratri! (b.)
COMMENTS