Bom Bali, Korban Bom Bali, Tragedi 12 Oktober 2012
Teks dan Foto: I Made
Sujaya
Tragedi Bom Bali, 12 Oktober 2002 silam memang tak akan
pernah bisa dilupakan, terlebih lagi bagi para korban dan keluarga korban.
Peristiwa itu tak hanya merenggut nyawa dan harta, tetapi juga membekaskan
trauma berkepanjangan, bahkan hingga kini.
(Baca: Sabtu Malam, 12 Oktober 11 Tahun Lalu)
(Baca: Sabtu Malam, 12 Oktober 11 Tahun Lalu)
Kendati begitu, para korban Bom Bali mengaku tak mendendam
kepada para pelaku. Bahkan, saat Amrozy cs., dieksekusi pun, bukan perasaan
puas yang muncul dalam hati mereka. Malah, tak sedikit yang merasa kasihan.
![]() |
Korban Bom Bali I (dari kiri ke kanan), Wayan Sudiana, Nyoman Rencini dan Novi Mahareni |
Tumini misalnya, saat Amrozy dieksekusi sedang berada di
Surabaya. Kala itu, dia diundang salah satu stasiun tv nasional untuk wawancara
khusus terkait eksekusi terpidana mati Bom Bali I. Tengah malam, Tumini
menerima telepon dari seorang polisi yang mengenal Tumini dan mengikuti
wawancara Tumini di televisi. Sang polisi mengabari Tumini tentang Amrozy dkk.,
yang sudah mati ditembak.
“Saya ditanya, apakah senang Amrozy sudah mati? Saya
katakan, memang saya lega, tapi tiba-tiba juga saya merasa kasihan. Yang ada di
pikiran saya, Amrozy juga punya istri, punya anak, bagaimana jadinya kalau
mereka ditinggal suami atau ayahnya. Tapi, saya juga jadi korban. Malah hingga
kini luka-luka akibat kejadian itu belum sembuh benar,” tutur Tumini.
Sudiana dan Rencini juga merasakan hal serupa. Kalau ditanya
apakah benci atau tidak dengan pelaku, keduanya secara jujur mengaku memang
membenci. Betapa tidak, ada orang yang tega membunuh sesamanya demi alasan yang
diyakininya sendiri. Tapi, mereka tidak memiliki dendam sama sekali.
“Buat apa juga saya mendendam. Dendam malah makin membuat
kita kian terpuruk,” kata Rencini.
Sudiana menambahkan peristiwa tragis Bom Bali I telah cukup
menjadi pengalaman buruk dalam hidupnya. Dia tak mau pengalaman buruk itu terulang,
begitu juga terhadap orang lain.
“Harapan saya sangat sederhana, jangan ada bom meledak lagi.
Jangan ada orang mati gara-gara bom lagi,” harap Sudiana.
Itu sebabnya, Sudiana dan Rencini tiada henti mengingatkan
anak-anaknya untuk tidak mendendam atas kematian ibu atau ayah mereka. Sudiana
misalnya selalu mengingatkan dua putranya agar tak mendendam.
“Saya selalu katakana pada mereka, ‘jangan pernah kamu
berpikir bahwa ibumu mati karena dibunuh orang Islam, lalu kamu membenci semua
orang Islam. Jangan! Pengebom itu bukan Islam. Mereka salah memahami ajaran
atau keyakinan mereka. Kamu jangan mengikuti hal yang salah, jangan meniru
jalan mereka yang salah itu’. Saya selalu ingatkan mereka seperti itu,” tutur
Sudiana.
Rencini juga tak berbeda. Kepada tiga putrinya, Rencini
tiada lelah mengajarkan agar mereka tak menyimpan dendam. Apa yang terjadi pada
ayahnya adalah sebuah musibah. Dan, musibah bisa terjadi di mana saja, kapan
saja dan menimpa siapa saja.
“Kalau kalian memang dendam, salurkan dendam itu dengan
belajar yang baik. Jadilah orang sukses. Tunjukkan, walaupun orang tua tidak
utuh lagi, kalian bisa sukses. Selama ini anak-anak saya mau mendengar saya.
Entahlah, apakah mereka memang mengerti atau takut dengan saya atau menyadari
karena tidak ayahnya sehingga mereka hanya punya seorang ibu yang harus
didengar omongannya,” cerita Rencini.
Putri pertama Rencini, Luh Putu Novi Mahareni juga mengaku
tak menyimpan dendam dalam hatinya. Dia menyadari apa yang terjadi itu sebagai
ujian dalam hidup yang mesti dijalani.
“Saya memang benci kejadian itu, tapi saya tak boleh
mendendam,” kata Novi.
Walau secara fisik kehilangan sosok ayah yang mengayomi,
tapi Novi merasakan kasih saying ayahnya selalu hadir di tengah-tengah keluarga
mereka. “Kalau saya dan adik-adik sedang kangen, saya ambil foto bapak. Lalu
kami cerita-cerita ketika ayah masih hidup. Malah jadinya lucu-lucuan. Adik
yang paling kecil kan tak tahu secara jelas siapa bapak, sering bertanya, ayo
apa lagi dong mbok cerita tentang ayah. Itu cara kami mengobati kerinduan
terhadap ayah,” tutur Novi. (b.)
COMMENTS