Sejumlah desa Bali Aga di Bali memiliki aturan adat yang melarang warganya berpoligami. Desa-desa itu umumnya ada di Bangli, seperti Bayung ...
Sejumlah desa Bali Aga di Bali memiliki aturan adat yang
melarang warganya berpoligami. Desa-desa itu umumnya ada di Bangli, seperti
Bayung Gede dan Bonyoh di Kintamani, Umbalan dan Penglipuran di Kecamatan
Bangli. Selain empat desa itu, desa Bali Aga lain yang juga memiliki aturan
adat serupa, yakni Desa Tenganan Pegringsingan di Karangasem.
![]() |
Perempuan Tenganan Pagringsingan dalam suatu upacara adat setempat |
Tokoh masyarakat Tenganan Pagringsingan, Nyoman Nuja
menuturkan pantangan ngemaduang (berpoligami)
itu secara ketat diberlakukan bagi warga yang berstatus sebagai krama desa ngarep (warga utama). Begitu
lelaki yang berstatus sebagai krama desa
itu mengambil istri lagi, keanggotaan desa adatnya gugur. Tanpa ada pembicaraan
apa-apa, setelah menikah lagi itu, krama
tersebut harus keluar dari jajaran keanggotaan krama desa.
Namun, warga tersebut bukan keluar total sebagai krama. Dia masuk menjadi krama gumi pulangan. Krama gumi pulangan ini semacam warga
lapisan ke dua di Tenganan Pegeringsingan. Krama
gumi pulangan tidak punya hak untuk ikut mengambil keputusan berkaitan
dengan desa.
“Krama desa
dipantangkan berpoligami karena sistem ulu-apad
yang mengharuskan mereka yang ikut dalam jajaran krama desa haruslah bulu-angkep
(sepasang suami-istri utuh),” tutur Mangku Widia, tokoh lain di desa ini.
Bukan cuma ngemaduang
(berpoligami) yang dipantangkan di Tenganan Pegeringsingan, menikah dengan
janda atau duda pun kena penurunan status krama
desa. Karenanya, selain lelaki yang beristri lebih dari satu, krama gumi pulangan juga terdiri dari krama yang menikahi janda atau duda. Hal
ini diatur dalam pawos (pasal) 57
Awig-awig Desa Adat Tenganan Pegringsingan.
Lelaki Tenganan Pegringsingan yang tetap ingin duduk di
jajaran krama desa mesti memilih
istri dengan pertimbangan yang matang. Selain harus berasal dari Tenganan
Pegeringsingan sendiri, juga harus masih gadis.
“Lelaki yang menduda karena ditinggal istrinya bisa kembali
menjadi krama desa asalkan menikahi
gadis yang berasal dari Tenganan Pegeringsingan,” ujar Nuja.
Masih ada lagi pantangan lainnya bagi warga Tenganan dalam
hal perkawinan yakni tidak boleh cerai. Bila dalam perjalanan sepasang suami
istri sampai cerai, status krama desa-nya
juga dicabut dan masuk sebagai krama gumi
pulangan.
Bahkan, jika istri dari seorang lelaki meninggal dunia atau
sebaliknya seorang wanita ditinggal mati suaminya juga berhenti menjadi krama desa. Begitu juga jika anaknya
sudah menikah, otomatis berhenti sebagai krama
desa.
Menurut Mangku Widia, pantangan cerai ini dimaksudkan agar
orang yang hendak menikah benar-benar sudah siap segala hal dan matang.
Terlebih lagi, imbuh Mangku Widia, tiga bulan setelah upacara pernikahan,
pasangan pengantin mesti keluar dari rumah orangtuanya. Keluarga baru itu harus
hidup mandiri. Kemudian pasangan ini harus membangun rumah baru di atas tanah
kapling seluas 2,432 are yang diberikan secara cuma-cuma oleh desa. Pasangan
ini pun diberikan hak Tumapung yakni hak untuk memotong pohon kayu secukupnya
untuk membangun rumah.
“Karenanya, bila belum siap berdiri sendiri, jangan dulu
menikah. Pantangan cerai juga dimaksudkan agar bila sekali mencintai pasangan,
cintailah sampai akhir hayat,” kata Mangku Widia. (b.)
______________________________
Penulis: I Made Sujaya
Foto: I Made Sujaya
Penyunting: Ketut Jagra
Pak mangku widia telah tiada
BalasHapus