Teks: I Ketut Jagra, Foto: www.balipost.com
Tiap kali menjelang karya pujawali (upacara peringatan hari jadi) di Pura Samuan Tiga, Desa
Bedulu, Gianyar, anak-anak usia sekolah dasar (SD) di desa setempat memiliki
kesibukan tersendiri. Mereka mendatangi rumah-rumah warga yang menjadi pengempon Pura Samuan Tiga, meminta
bahan-bahan keperluan upakara untuk digunakan saat pujawali. Masyarakat Desa Bedulu menyebut ini sebagai tradisi ngambeng. Inilah media pembelajaran
sejak dini kepada anak-anak Bedulu untuk ngayah
(bekerja penuh keikhlasan tanpa bayaran) di pura.
Ngambeng merupakan bagian dari penyambutan karya pujawali di Pura Samuan Tiga yang puncaknya jatuh pada Selasa
(15/5) hari ini bertepatan dengan Purnama Jyestha atau dalam pemahaman
masyarakat Bedulu, pada Purnamaning Kadasa. “Ngambeng dilaksanakan 15 hari sebelum karya dan berakhir delapan
hari menjelang karya,” tutur Manggala
Paruman Pura Samuantiga, I Wayan Patera.
Umumnya, anak-anak yang ngambeng tidak pernah sampai
dikoordinir. Dengan kesadaran sendiri, mereka akan berkumpul dengan
teman-temannya melaksankan ngambeng.
Begitu girang, tiada kurang senang.
Warga yang rumahnya didatangi pun
sudah maklum dan tidak pernah sampai tidak memberi. Ada keyakinan, kalau
kedatangan anak-anak ini ditolak, bisa tidak menemukan kebahagiaan. Justru,
bila disambut dengan baik dan diberikan sesuai apa yang dimiliki akan memberi
berkah.
Karena anak-anak ngambeng itu memiliki kelompok-kelompok
sendiri, tidak jarang satu rumah warga didatangi lima kelompok anak ngambeng. Warga sendiri tiada pernah
menolak.
Seluruh bahan-bahan upakara yang
diperoleh selama ngambeng, lanjut
Patera, dipersembahkan ke Pura Samuantiga. Selanjutnya, sebagai imbalan,
anak-anak itu pun mendapatkan seporsi nasi yang biasa disebut nasi paica. Panitia kerap menyediakan
800-1.000 tanding paica. Ini berarti
pada hari itu ada 800-1000 orang anak yang ngambeng.
Memasuki hari ke delapan
menjelang pujawali, ngambeng pun dihentikan. Proses ngayah sekarang dilanjutkan oleh krama istri (warga perempuan) datang
secara langsung ke pura ngaturang pamilet
atau mempersembahkan bahan-bahan keperluan upakara.
Ngambeng bertujuan untuk menjemput sarana upacara ke setiap
rumah-rumah krama (warga). Selain
itu, ngambeng juga memiliki tujuan
memberitahukan kepada krama bahwa pujawali akan segera dilaksanakan di
Pura Samuantiga.
Secara filosifis, ngambeng bermakna proses belajar untuk
mempertajam bakti dari anak-anak muda. Di sinilah terjadi regenerasi pemahaman
bagaimana seyogyanya mereka sebagai krama
untuk ngayah.
“Kata ngambeng berasal dari akar kata ambeng
yang artinya mencari. Begitu juga ambeng
berarti mempertajam. Dalam konteks pujawali
ini ngambeng bermakna mempertajam
kesucian anak-anak,” kata Patera.
Kalau sudah duduk di kelas VI,
anak-anak biasanya tidak lagi ngambeng.
Mereka akan ngayah di perantenan (dapur), mempersiapkan
konsumsi untuk pengayah. (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar