Tradisi Siat Sampian, Pura Samuantiga, Makna Siat Sampian
Teks dan Foto: I Made Sujaya
Sabtu (17/5), tiga hari setelah puncak karya pujawali di Pura Samuantiga digelar suatu tradisi unik. Namanya, Siat Sampian atau perang sampian. Tradisi ini kerap menarik perhatian orang, termasuk tetamu asing.
Seperti namanya, Siat Sampian memang berwujud laksana perang dengan menggunakan sampian. Pelaku
ritual ini adalah para parekan
(sebutan untuk pengayah laki-laki) dan permas
(pengayah perempuan).
Prosesi Siat Sampian diawali dengan nampyog yakni para permas
yang berjalan beriringan mengelilingi halaman madya mandala pura. Para permas ini berjalan sembari menari-nari
dengan gerakan sederhana. Krama Bedulu lazim menyebutnya sebagai tari Sutri. Di
tangan kanan sang permas terselip
dupa dengan asap mengepul.
“Nampyog
dilakukan selama tiga kali. Setiap tiga kali berkeliling, gerakannya berubah
lagi,” tutur Ketua Paruman Pura Samuan Tiga, I Wayan Patera. Dari prosesi nampyog ini, ada prosesi yang dikenal
dengan nama ngober nyambung. Dalam
prosesi ini, pada pinggang permas
diikatkan selembar selendang putih. Seledang ini pula yang dikibarkan secara
sambung menyambung oleh para permas
di barisan berikutnya.
Usai prosesi ngober
nyambung, barulah disusul dengan maombak-ombakan. Saat ini, para parekan saling berpegangan satu sama
lain mengelilingi halaman pura. Ini tergolong bagian menarik. Pasalnya, parekan yang saling berpegangan ini
berputar selama tiga kali disertai dengan teriakan-teriakan seperti orang
kesurupan. Mereka pun berusaha agar dapat memegangi bangunan suci yang ada di
pura. Biasanya, prosesi ini disertai dengan tetabuhan yang rancak. Puncaknya,
para parekan saling lempar sampian
yang sudah disiapkan.
Siat Sampian sendiri dimaknai Patera sebagai visualisasi
pertarungan antara dua kekuatan yang berbeda yakni subha (kebaikan) dan asubha
karma (keburukan) yang kerap terjadi di dalam kehidupan ini. Manusia pun
sangat lekat dengan pertentangan antara kedua sifat ini di dalam dirinya. Yang
menang pada akhirnya adalah kekuatan satya
(kebenaran). Secara konkret ini disimboliskan dengan kelompok parekan yang ada di bagian pelataran
atas.
“Usai Siat Sampian, seluruh parekan masiram di beji. Ini
maknanya penyucian diri,” kata Patera.
Siat Sampian sendiri hanya boleh diikuti oleh parekan dan permas. Sehari sebelum pujawali,
permas dan parekan ini melaksanakan pekalahyangan
untuk menyucikan diri serta mulai mengabdikan diri ke hadapan Ida Batara selama
karya berlangsung.
Dipilihnya sampian
untuk sarana Siat Sampian, menurut Patera, karena sampian merupakan bagian ujung dari dangsil yang dipersembahkan para parekan. Dangsil
merupakan wujud fisik dari bakti parekan ke
hadapan Ida Batara. “Muncuk (ujung) bakti
itulah yang dihaturkan secara tulus ikhlas ke hadapan Ida Batara,” kata Patera.
Selain itu, bentuk sampian
pun bundar menyerupai cakra. Cakra merupakan senjata Dewa Wisnu, manifestasi
Tuhan sebagai pemelihara. Cakra sendiri melambangkan perputaran hidup sekaligus
juga kesejahteraan.
Namun, sejak kapan ritual Siat Sampian mulai dilaksanakan
di Pura Samuan Tiga, Patera tidak tahu secara pasti. “Kami sudah nami seperti ini,” kata Patera.
Hanya, menurut penuturan tetua-tetua Desa Bedulu, dulu
ritual Siat Sampian disertai atraksi ngamuk
baa seperti lazimnya pada Tari Sanghyang. Entah kenapa, atraksi ini tidak
lagi muncul. (b.)
KOMENTAR