Hari Raya Kuningan, Persembahyangan Kuningan tak Boleh Lewat Siang Hari
Teks dan Foto: I Ketut Jagra
Sabtu (31/5), bertepatan dengan
Saniscara Kliwon wuku Kuningan, umat Hindu merayakan hari raya Kuningan,
sepuluh hari setelah hari raya Galungan. Kerap kali, para tetua mengingatkan
bersembahyang saat hari suci Kuningan agar dituntaskan sepagi-paginya. Jangan
sampai lewat tajeg surya, tengai tepet atau tengah hari. Jika
sampai lewat, sembah yang dihaturkan bakal tiada berberkah karena tertuju
kepada Dewa Berung.
Keyakinan soal Dewa Berung ini
cukup kuat menguasai pola pikir umat terutama di pedesaan. “Tiang berusaha agar persembahyangan
tuntas sekitar pukul 10.00. Katanya, kalau lewat siang hari, kita bukan bertemu
dewata, tetapi Dewa Berung,” tutur Ni Nyoman Tirtha, seorang ibu rumah tangga
asal Klungkung.
Berbeda dengan Ni Nengah Purnami,
seorang ibu asal Karangasem yang beralasan tidak mabanten lewat siang hari karena
para dewa sudah kembali ke kahyangan. “Saya menonton dharma wacana di televisi, katanya seperti itu,” ujar Purnami.
Memang, dalam lontar Sundharigama disebutkan adanya pantangan
bersembahyang lewat siang hari saat hari suci Kuningan. Seperti ditulis Drs. IB
Putu Sudarsana, MBA., M.M., dalam buku Ajaran
Agama Hindu (Acara Agama), jika bersembahyang lewat dari pukul 12.00, para
Dewata telah kembali ke Kahyangan. Aja
sira ngarcana lepasing dauh ro, apan riteles ikang dauh, prewateking Dewata
mantuk maring sunya taya.
Namun, dalam cermatan pendharma
wacana serta penulis buku-buku agama Hindu, I Ketut Wiana, pantangan
bersembahyang lewat siang hari sejatinya didasari pertimbangan pagi hari
sebagai satwika kala atau hari yang
paling baik. Waktu, kata Wiana, dibagi menjadi tiga yakni satwika kala (pagi hari), rajasika
kala (siang hingga sore hari) dan
tamasika kala (malam hari).
Hari raya Kuningan merupakan hari
anugerah. Sementara hari raya Galungan yang telah mendahuluinya merupakan hari
perjuangan yakni berjuang mengalahkan sang kala tiga di dalam diri. Setelah
berhasil meraih kemenangan, tentu disusul dengan anugerah berupa kesejahteraan,
kemakmuran, kegembiraan. “Menurut Bhagawad
Gita, saat yang paling baik untuk menerima anugerah yakni pada pagi hari,”
kata Wiana.
Landasan pikir semacam ini pula
yang mendasari mengapa persembahyangan hari suci Saraswati yang jatuh saat Saniscara Wuku Watugunung juga dilaksanakan pagi hari. Hari suci Saraswati
merupakan simbolik turunnya ilmu pengetahuan, sebagai anugerah terbesar bagi
manusia dalam menjalani hidup dan penghidupannya.
Selain secara filosofis, anjuran
bersembahyang pada pagi hari saat hari raya Kuningan juga sangat logis. Secara
psikologis, pagi hari menjadi saat yang sangat bagus untuk menghaturkan sembah
karena suasana masih hening, lahir dan batin pun masih bening. Untuk menghadap
Yang Maha Kuasa, keheningan dan kebeingan hati sangat dibutuhkan. Dengan hati
yang bening, pikiran pun jadi lebih mantap.
Itu sebabnya, pada pagi hari
pula, para sulinggih, orang-orang
suci memuja kebesaran Hyang Widhi lewat ritual nyurwa sewana. Kehadiran sinar pertama sang surya membuat pintu
hati dan mata batin terbuka. Keterbukaan pintu hati dan mata batin menjadikan
relasi personal Sang Diri dengan Sang Muasal kian lekat, makin dekat.
Tak cuma itu, dari segi
kesehatan, pagi hari pun dipandang sangat baik bagi tubuh. Para ahli kesehatan
menyebut sinar mentari pagi mengandung vitamin D sehingga sangat bermanfaat
bagi penguatan tubuh.
Berbeda dengan sore hari,
orang-orang umunya sudah mulai lesu, tak cerah lagi. Apalagi jika sedari pagi
sudah dihimpit beban pekerjaan yang berat. Kedaaan fisik dan pikiran semacam
itu, kurang tepat untuk menghadap Yang Maha Tunggal.
Kendati begitu, Wiana
mengingatkan, anjuran bersembahyang saat Kuningan tidak lewat siang hari, bukan
berarti umat tidak perlu bersembahyang saat siang dan sore hari. Agama Hindu,
kata Wiana, tetap menganjurkan untuk menandai peralihan hari itu dengan memuja
Tuhan. Itu sebabnya, dalam Hindu ada anjuran bersembahyang tiga kali sehari:
pagi, siang dan sore atau malam hari. (b.)
COMMENTS