Tradisi Hari Raya Kuningan, Tradisi Nyaagang, Tradisi Klungkung
Teks: Desu Jaya
Waktu menunjukkan pukul 10.00 Wita. Nyoman Tirtha, warga Kusamba, Klungkung buru-buru mengeluarkan sesaji ke depan gerbang rumahnya. Sesaji itu kemudian digelar di atas tikar pandan menghadap ke jalan. Disertai anggota keluarga lain, doa dengan kalimat sederhana pun meluncur dari bibirnya. Sebagai tanda penutup ritual, mereka pun nyurud (menikmati sisa sesaji) bersama.
![]() |
Tradisi nyaagang saat hari Kuningan di Klungkung |
Begitulah ritual nyaagang yang menjadi tradisi masyarakat
Klungkung. Biasanya, ritual nyaagang
dilaksanakan setelah persembahyangan hari suci Kuningan selesai dilaksanakan. Karena
persembahyangan hari suci Kuningan tak boleh melewati tengah hari, maka ritual nyaagang akan dilaksanakan sekitar pukul
10.00 hingga sebelum pukul 12.00.
"Nyaagang ini sebagai pertanda upacara
hari suci Kuningan sudah berakhir dan para leluhur kini akan kembali ke
kahyangan. Sebelum para leluhur pulang ke kahyangan, maka dihaturkan
sesaji," urai Nyoman Tirtha menjelaskan makna upacara nyaagang.
Hampir seluruh
masyarakat Klungkung memang melaksanakan ritual nyaagang saban hari suci Kuningan. Tak diketahui secara jelas sejak
kapan ritual ini mulai muncul di Klungkung.
"Kami sudah nami (mewarisi) seperti ini sejak
dulu," kata Ni Wayan Pica, seorang warga Klungkung lainnya.
Memang,
masyarakat awam tak banyak memahami makna upacara nyaagang ini. Namun, jika ditelisik secara etimologis, kata nyaagang berasal dari kata saagang dalam bahasa Bali yang berarti
'hidangkan'.
Karena itu, nyaagang kemungkinan besar merupakan
sebuah ritual menyajikan hidangan berupa sesaji kepada para leluhur sebelum
kembali ke kahyangan. Nyaagang
tampaknya semacam ritual perjamuan sebagai ungkapan syukur dan terima kasih
kepada para leluhur yang telah berkenan hadir dalam rangkaian upacara hari suci
Galungan dan Kuningan sekaligus memberikan berkah kepada seluruh keluarga.
Menurut
kepercayaan masyarakat Bali, para leluhur sudah hadir pada saat hari Sugihan.
Sepanjang hari Sugihan hingga Kuningan, para leluhur memberikan berkahnya bagi
seluruh keluarga.
Nyaagang sebagai ritual perjamuan bagi leluhur bisa dilihat dari bentuk
sesaji yang dihaturkan. Di antaranya, banten soda, beralas daun timbul (keluwih), sepan (tebu), utu, biu krutuk, tigasan dan sejumlah sesaji lainnya.
"Doa yang
dihaturkan pun memang ditujukan kepada para leluhur. Isinya berupa ungkapan
terima kasih dan syukur atas kesediaan para leluhur untuk turun dan memberi
berkah sepanjang hari suci Galungan dan Kuningan. Selanjutnya para leluhur
diharapkan turun lagi saat hari Galungan dan Kuningan enam bulan lagi,"
kata Dewa Gede Anom, tokoh masyarakat Paksebali, Klungkung.
Di Paksebali,
kata Dewa Anom, nyaagang dilakukan di
dua tempat yakni di sanggah/merajan serta di lebuh (gerbang) rumah. Nyaagang
di sanggah/merajan dihaturkan bagi
para leluhur yang sudah suci. Sementara nyaagang di lebuh rumah dihaturkan bagi
para leluhur yang belum disucikan. "Kan ada leluhur yang sudah di-aben tetapi belum diupacarai ngerorasin," kata Dewa Anom. (b.)
KOMENTAR