Teks: I Made Sujaya
Foto: Repro buku Ida Pedanda Istri Mas Seorang Mahatapini dan Yogini (Dharmopadesa Pusat, 2004)
Foto: Repro buku Ida Pedanda Istri Mas Seorang Mahatapini dan Yogini (Dharmopadesa Pusat, 2004)
Hari ini, 1 Mei diperingati sebagai hari buruh internasional.
Mulai tahun ini, hari buruh internasional ditetapkan sebagai hari libur
nasional di Indonesia.
Di tengah gemuruh aksi demo para buruh memeriahkan hari
buruh, masyarakat Bali selayaknya mengenang kembali seorang tokoh penting dalam
menjaga nafas kebudayaan Bali. 1 Mei 1901, bertepatan dengan Buda Pahing wuku Uye, perempuan tangguh ini lahir di Desa
Budakeling, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, Bali. Namanya, Ida Ayu
Made Rai. Tradisi lingkungan brahmana di griya
mengharuskannya menggunakan nama Ida Pedanda Istri Mas. Dialah guru besar
arsitek banten (sesaji dalam tradisi
ritual Bali0 atau dikenal sebagai wiku
tapini, bahkan mahatapini.
Nama Ida Pedanda Istri Mas begitu melegenda dalam dunia tapini. Maklum, sang wiku merupakan
tapini yang selalu berperan penting dalam berbagai upacara besar di Pura Agung
Besakih. Ida Pedandan Istri Mas sudah terlibat ngayah mempersiapkan berbagai
banten (sesaji) saat Karya Eka Dasa Rudra pada tahun 1963 di Pura Besakih. Hal
ini berlanjut manakala digelar karya-karya sejenis lain, seperti Eka Dasa Rudra
tahun 1979, Tri Bhuwana, Candi Narmada, Panca Bali Krama, Eka Bhuwana dan
lainnya.
Ida Bagus Agastia dan Ida Bagus Putu Suamba yang menyusun
biografi Ida Pedanda Istri Mas Seorang Mahatapini
dan Yogini menyebut Ida Pedanda Istri Mas sebagai arsitek banten sekaligus ensiklopedia banten. Ia menjadi pusat informasi banten.
Menurut Agastia, tapini termasuk dalam tri manggalaning yajna (tiga pemimpin upacara), yang terdiri atas yajamana, tapini dan pengrajeg. Yajamana adalah seorang sadhaka atau sulinggih yang bertanggung jawab pada pelaksanaan yajna secara keseluruhan. Tapini adalah
seorang sadhika atau sulinggih istri yang bertanggung jawab
pada pembuatan banten atau yantra. Sedangkan pangrajeg adalah orang yang bertanggung jawab pada pengadaan segala
sarana upakara dan upacara.
Agastia mencatat sikap tulus ngayah tertanam kuat dalam diri
Ida Pedanda Mas. Itu sebabnya, sang wiku senantiasa menyebut diri ngayah
manakala ditanya seputar keterlibatannya dalam berbagai upacara. Manakala
ngayah, Ida Pedanda Istri Mas seolah mendapatkan limpahan semangat, bahkan
manakala usia semakin uzur. Banten memberikan daya hidup dalam diri Ida Pedanda
Istri Mas.
Menurut Agastia, banten
memang merupakan sebuah jalan yoga. Lantaran, dalam pembuatan banten terbina juga konsentrasi,
kesucian dan pengendalian diri.
Boleh jadi karena itulah, Ida Pedanda Istri Mas mampu
menapak usia hingga 111 tahun. Ida Pedanda dari Griya Alit Budakeling ini baru
tutup usia pada Senin, 6 Februari 2012, sekitar pukul 04.30. Di zaman modern
ini, tidak banyak yang bisa bertahan sampai seusia Ida Pedanda Istri Mas. Sang
suami sendiri, Ida Pedanda Gede Wayan Alit (alm), sudah lebih dulu berpulang pada
tahun 1974.
Bali selayaknya memang mengenang sosok Ida Pedanda Istri
Mas, sang pengabdi yang sepenuh hati menjaga bagian penting tradisi Bali bernama
banten. (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar