Teks dan Foto: I Made Sujaya
Perempuan
pengarang Bali, Oka Rusmini menampik kesan selama ini yang menyebut
karya-karyanya dalam bentuk puisi, cerpen maupun novel sebagai bentuk kebencian
kepada laki-laki Bali. Namun, menurut Oka Rusmini, melalui karya-karyanya dia
sedang melakukan dua hal penting, yakni menunjukkan kehebatan perempuan Bali
dan mendokumentasikan kebudayaan Bali.
Hal
ini dikemukakan Oka Rusmini saat tampil sebagai pembicara pada seminar akademik
bertajuk "Pengajaran Sastra sebagai Wahana Memperteguh Nilai-nilai
Karakter dan Budaya Bangsa" di ruang serbaguna IKIP PGRI Bali, Selasa, 29
April 2014. Oka Rusmini menjawab pertanyaan salah seorang mahasiswa peserta
seminar mengenai pilihan Oka Rusmini yang selalu mengungkap perempuan Bali yang
menjadi korban dalam karya-karyanya. Selain Oka Rusmini juga turut tampil
sebagai pembicara, IBW Widiasa Keniten, guru yang juga pengarang peraih hadiah
sastra Rancage.
“Saya
tidak sedang menyatakan laki-laki itu brengsek, tapi saya sedang menunjukkan
perempuan Bali itu hebat lho, perempuan Bali itu kuat, perempuan Bali itu luar
biasa,” kata Oka Rusmini.
Menurut
Oka Rusmini, perempuan Bali itu bersahabat dengan waktu. Mereka tidak pernah
menyia-nyiakan waktu. Nyaris tidak ada waktu yang terbuang bagi perempuan Bali.
Manakala memiliki waktu, perempuan Bali senantiasa mengisinya dengan aktivitas,
seperti majejahitan menyiapkan berbagai sarana sesaji.
Tak
hanya itu, Oka Rusmini pun menilai perempuan Bali sangat mandiri. Mereka bisa
hidup di atas kakinya sendiri. Dengan hanya bermodalkan janur atau pun daun
pisang kering, mereka bisa hidup bahkan menghidupi keluarganya.
Oka
Rusmini juga mengungkapkan cerpen maupun novel-novelnya juga sebuah bentuk
dokumentasi kebudayaan Bali, terutama tradisi yang sudah semakin terkikis.
Pengarang novel Tarian Bumi dan Kenanga ini menyatakan cerpen dan
novel-novelnya banyak menggunakan nama-nama Bali lama yang kini sudah semakin
ditinggalkan. Begitu juga sejumlah tradisi yang bagi anak-anak muda Bali kini
sudah dikenal lagi diceritakan kembali dalam karya-karyanya.
Oka
Rusmini lantas mengajak anak-anak muda Bali mulai menulis tentang
kebudayaannya, baik dalam bentuk fiksi maupun nonfiksi. Menurut pemenang SEA
Write Awards ini, selama ini sejarah dan kebudayaan Bali banyak ditulis orang
asing. Padahal, spirit dan nuansa kebudayaan Bali hanya bisa dirasakan dengan
baik oleh orang Bali.
“Saya
bukan anti orang asing. Teman-teman saya juga banyak orang asing. Tapi, saya merindukan
kebudayaan Bali dipahami dan dimaknai oleh orang Bali. Jangan lagi kita
mempelajari kebudayaan kita melalui orang asing, tapi melalui diri kita
sendiri,” tandas Oka Rusmini.
Sementara
Widiasa Keniten menekankan pada upaya membenahi pembelajaran sastra di
sekolah-sekolah agar berbasis teks. Dia mengajak guru dan calon guru mengajak
siswa Mencoba memahami teks lalu berkreasi menciptakan teks-teks baru berdasarkan
teks yang dibaca. “Dari berita bisa dilahirkan puisi, cerpen atau novel.
Sebaliknya, dari puisi, cerpen dan nobel bisa dilahirkan teks berita. Jadi,
siswa bisa menikmati keragaman teks,” kata Widiasa Keniten.
Seminar
diselanggarakan Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Pendidikan Bahasa
Indonesia dan Daerah, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS) IKIP PGRI Bali
dalam rangka memperingati Hari Chairil Anwar yang juga dikenal sebagai Bulan
Sastra. Seminar semacam ini rutin digelar setiap tahun.
Dekan
Fakultas PBS, Nengah Arnawa mengatakan
seminar digelar untuk memberikan pengalaman praktis di bidang kesastraan bagi
mahasiswa. “Selama ini di kelas mahasiswa sudah mendapat pengalaman teoretik,
kini diperkaya dengan pengalaman praktis kesastraan,” kata Arnawa. (b .)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar