Teks: I Made Sujaya
“ …Ketika selesai puputan itu dilakukan
penelitian pada orang-orang yang gugur, maka di antara korban terdapat putra
raja yang berusia dua belas tahun, adalah satu-satunya (putra mahkota pewaris
tahta). Ia tergeletak di tengah-tengah (serakan mayat) dan sejumlah banyak
wanita-wanita… Apakah anak itu memang ingin mati mengikuti ayahnya? Apakah ia
ingin memperlihatkan bahwa adat Bali yang suci dan luhur ditempatkan lebih
tinggi dari kehidupan?...”
![]() |
Gambaran Dewa Agung Gde Agung, putra mahkota Kerajaan Klungkung yang ikut dalam perang Puputan Klungkung dalam komik Lebur Ring Klungkung (2003) |
Catatan itu
diambil dari laporan wartawan Belanda di sebuah surat kabar milik pemerintah
Hindia Belanda, Soerabaiasch Handelsblad,
beberapa hari setelah perang Puputan Klungkung terjadi. Belanda tampaknya
memberi perhatian istimewa pada sosok putra mahkota Kerajaan Klungkung, Dewa
Agung Gde Agung, yang baru berusia 12 tahun, ikut gugur dalam perang yang
berakhir tragis dan memilukan itu. Keberanian Dewa Agung Gde Agung turut
berperang melawan Belanda menunjukkan semangat bela pati yang tidak saja
tertanam di kalangan mereka yang sudah dewasa tetapi juga menyelusup hingga
mereka yang masih belia.
Belanda tampaknya tidak tahu, Dewa Agung Gde Agung maju
berperang mendahului ayahandanya, Dewa Agung Jambe. Dewa Agung Gde Agung lebih
dulu maju ke medan perang bersama ibundanya yang juga permaisuri Raja Klungkung,
Dewa Agung Istri Muter. Selain Dewa Agung Gde Agung, sepupunya, Cokorda Oka Geg
juga turut maju ke medan laga. Tapi, Cokorda Oka Geg berhasil diselamatkan.
Kakinya tertembak. Beberapa tahun kemudian, setelah Klungkung sepenuhnya
ditaklukkan Belanda, Cokorda Oka Geg dinobatkan sebagai Raja Klungkung.
Perang Puputan Klungkung memang berakhir dengan kekalahan
total Klungkung, kerajaan yang disegani dan diakui sebagai sesuhunan raja-raja Bali-Lombok.
Tapi, kekalahan secara fisik itu mengukuhkan bangunan kultural rakyat Bali
dalam menempatkan harga diri, kehormatan dan kedaulatannya di atas
segala-galanya. Seperti ditulis I Gusti Ngurah Made Pemecutan, raja Denpasar
yang memimpin perang Puputan Badung dua tahun sebelumnya, puput tan tumut pejah, 'kematian tidak dijemput dengan kehilangan'.
Puputan justru menjadi monumen kultural masyarakat Bali.
Perang Puputan Klungkung memang tidak sepopuler perang
Puputan Badung. Catatan Belanda tentang Puputan Klungkung tidak sebanyak
catatan seputar Puputan Badung. Boleh jadi sebabnya Puputan Klungkung
berlangsung sangat singkat dan Belanda tidak pernah merencanakan serangan
khusus terhadap Klungkung.
Tapi, perang Puputan Klungkung merupakan puncak perlawanan
raja dan rakyat Klungkung terhadap intervensi Belanda, mulai dari masalah
perbatasan hingga monopoli perdagangan candu. Sikap dan tindakan Belanda
terhadap Klungkung dianggap mengoyak kedaulatan kerajaan dan rakyat Klungkung.
Api perlawanan terhadap Belanda pertama kali meletus di
Gelgel. Pemicunya, patroli keamanan Belanda di wilayah Klungkung pada 13-16
April 1908. Belanda berdalih patroli itu untuk memeriksa dan mengamankan
tempat-tempat penjualan candu sebagai konsekwensi monopoli perdagangan candu
yang dipegang Belanda. Sejumlah pembesar kerajaan Klungkung menentang patroli
ini karena dianggap melanggar kedaulatan Klungkung. Cokorda Gelgel berada di
barisan penentang ini, bahkan telah mempersiapkan suatu penyerangan terhadap
patroli Belanda. Benar saja, serangan terhadap patroli Belanda terjadi di
Gelgel. Serangan mendadak ini membuat Belanda menderita kekalahan; 10 orang
serdadu gugur termasuk Letnan Haremaker, salah seorang pemimpin serdadu
Belanda. Di pihak Gelgel kehilangan 12 prajurit termasuk IB Putu Gledeg.
Belanda tampaknya juga menunggu-nunggu peristiwa Gelgel,
karena hal itu bisa menjadi pintu masuk untuk menyerang Klungkung. Setelah
mengadakan serangan balasan ke Gelgel, Belanda semakin bernafsu menaklukkan
Klungkung. Belanda menuding Klungkung memberontak terhadap pemerintah Hindia
Belanda. Ekspedisi khusus pun dikirimkan Belanda dari Batavia. Raja dan rakyat Klungkung
diultimatum untuk menyerah hingga 22 April 1908. Raja Klungkung tentu saja
menolak tudingan Belanda itu. Mulai 21 April 1908, Belanda memborbardir istana
Smarapura, Gelgel, dan Satria dengan tembakan meriam selama enam hari
berturut-turut.
27 April 1908, ekspedisi khusus dari Batavia tiba dengan
kapal perang dan persenjataan lengkap. Belanda mendaratkan pasukan di Kusamba dan
Jumpai. Perang pun dimulai. Karena persenjataan tidak seimbang, Belanda bisa
menguasai Kusamba dan Jumpai, meskipun rakyat di kedua desa itu melakukan
perlawanan sengit. Perlahan, pasukan Belanda pun merangsek menuju Klungkung.
Istana Smarapura terkepung.
Cokorda Gelgel dan Dewa Agung Gde Semarabawa gugur dalam
menghadapi serdadu Belanda di benteng selatan. Kabar inilah yang mendorong Dewa
Agung Istri Muter bersama putra mahkota, Dewa Agung Gde Agung turun ke medan
perang mengikuti ibu suri, Dewa Agung Muter. Semuanya berpakaian serbaputih,
siap menyongsong maut. Dewa Agung Muter bersama putra mahkota akhirnya gugur.
Mendengar permaisuri dan putra mahkota gugur di medan laga,
tidak malah membuat Dewa Agung Jambe keder, justru semakin bulat memutuskan berperang
sampai titik darah penghabisan. Dewa Agung Jambe keluar diiringi seluruh
keluarga istana dan prajurit yang setia maju menghadapi Belanda dengan gagah
berani. Karena persenjataan yang tidak imbang, mereka pun gugur dalam
berondongan peluru Belanda. Mereka menunjukkan jiwa patriotis membela tanah
kelahiran dan harga diri. Hari itu pun, 28 April 1908 sore, sekitar pukul 15.00
kota Klungkung jatuh ke tangan Belanda. (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar