Teks dan Foto: Dhara Wasundari Hari ini, Jumat, 14 Februari 2014, di saat manusia se-dunia tenggelam dalam perayaan hari Valentine, man...
Teks dan Foto: Dhara Wasundari
Hari
ini, Jumat, 14 Februari 2014, di saat manusia se-dunia tenggelam dalam perayaan
hari Valentine, manusia Bali memaknai dua hari raya: Purnama Kawulu dan Dina
Kala Paksa. Manakala orang-orang sejagat sumringah berbagi kasih sayang, orang
Bali dituntun merenung, menelisik ke dalam diri, menyelami hari di bulan terang
sekaligus hari puncak kekotoran dunia.
![]() |
Sesuwuk yang digunakan umat Hindu di Kota Denpasar saat hari Dina Kala Paksa |
Kalender
tradisional Bali menandai hari ini sebagai Sukra Wage wuku Wayang sekaligus
Purnama Kawulu (bulan ke delapan). Sukra Wage wuku Kelawu kerap dimaknai sebagai
hari yang leteh (kotor). Lazim
disebut sebagai dina kala paksa. Konon, saat itu dipantangkan untuk menyucikan
diri termasuk berkeramas. Menariknya, pada saat itu pula bertepatan dengan
bulan terang Purnama Kawulu.
Ketua
Yayasan Dharma Acarya yang juga penulis buku-buku agama Hindu, IB Putu Sudarsana
menyebut hari Jumat Wage merupakan titik puncak dari kekotoran dunia (rahina cemer). “Saat itu tidak umat
Hindu tidak diperkenankan mencuci rambut atau keramas. Bagi para wiku (pendeta) juga tidak diperkenankan
memuja,” jelas Sudarsana.
Sudarsana
kemudian memberi penjelasan mengapa hari kala
paksa dianggap sebagai hari paling kotor. Menggunakan pendekatan Tattwa
Samkya, Sudarsana menguraikan wuku
Wayang memiliki urip 4, hari Jumat
(Sukra) memiliki urip 6, dan wara Wage memiliki urip 4. Jika ketiga urip
itu dijumlahkan, didapat angka 14. Angka 14 terdiri dari angka 1 dan 4, yang
jika dijumlahnya menjadi 5.
Angka
5 tersebut, dalam pemahaman Sudarsana merupakan simbol dari kekuatan panca maha bhuta (lima unsur pembentuk
tubuh). Karenanya, hari kala paksa
merupakan hari yang dikuasai kekuatan panca
maha bhuta sehingga menjadi puncak hari kotor. Saat itu kekuatan Kala
dinyatakan sedang memuncak.
Untuk
menetralisir kekotoran pada hari kala
paksa, lontar Sundarigama mengamanatkan untuk mengoleskan kapur sirih pada
ulu hati. Olesan kapur sirih itu berbentuk tampak
dara (tanda silang).
Selain
itu, menurut Sudarsana, umat juga disarankan memasang sesuwuk (semacam penanda).
Sesuwuk tersebut terbuat dari daun pandan berduri, dipotong-potong yang
panjangnya 5 cm. Selanjutnya diolesi kapur sirih berbentuk tampak dara (silang). Sesuwuk dibuat sebanyak bangunan suci dan
rumah yang dimiliki.
Daun
pandan tersebut dialasi dengan sebuah sidi
(ayakan) serta diisi juga sebuah takir berisi kapur sirih dan benang tri datu (tiga warna: merah, hitam,
putih) sepanjang dua jengkal, lengkap dengan canang sari. Di dalam sidi diisi
sebuah takir lagi lengkap dengan tri ketuka (mesui, kesuna, jangu) yang telah
digerus.
Semua
sesuwuk itu, menurut Sudarsana, sarat
dengan makna. Daun pandan berduri disebutnya sebagai simbol kekuatan Kala,
serta dioles dengan kapur sirih sebagai simbol kekuatan dharma. Tanda tampak dara merupakan simbol kekuatan
swastika untuk mengembalikan adharma menuju dharma.
Daun
pandan yang dikumpulkan menjadi satu kemudian diikat dengan benang tri datu serta dialasi sidi merupakan
simbol permohonan ke hadapan Hyang Widhi agar dianugerahkan kesidhian, sabda,
bayu idep sehingga bisa memiliki kekuatan religiomagis dalam mengembalikan
kekuatan kala tersebut ke sumbersenya semua menjadi Kala Hita, untuk bisa
memberikan kesejahteraan alam semesta.
Keesokan
harinya, sesuwuk itu dibuang ke lebuh. Lebuh merupakan simbol nistaning
mandhala serta menjadi menjadi simbol sapta
patala, sorganya Kala. Ini berarti mengembalikan Kala ke asalnya. (b.)
COMMENTS