Hari
ini manusia Bali merayakan hari Tumpek Wayang. Hari Tumpek Wayang diidentikkan
dengan sebuah tradisi, bayuh oton sapuh
leger bagi anak yang lahir pada wuku
Wayang.
Bagi
anak yang lahir pada wuku Wayang diberikan
bayuh oton yang khusus, sebab anak tersebut
dianggap salah wadi atau lahir salah,
sesuai dengan nama wuku. Menurut mitologi
Kalapurana, anak ini dapat disantap
oleh Batara Kala. Untuk menghindarinya perlu di-bayuh dengan panglukatan
Sang Mpu Leger, yakni penglukatan
dengan sarana tirtha Wayang.
(Baca: Berkarma Sesuai "Swadharma", Berdamai dengan Sang Kala)
(Baca: Berkarma Sesuai "Swadharma", Berdamai dengan Sang Kala)
Lontar
Kalapurana mengisahkan Batara Siwa
berputra dua orang, yaitu Batara Kala dan Dewa Kumara. Pada suatu ketika Batara
Kala yang bertabiat seperti raksasa bertanya kepada ayahandanya, menanyakan
siapa saja yang boleh disantapnya. Siwa menjelaskan bahwa yang boleh disantap
adalah bila ada orang yang berjalan tepat tengah hari dan yang lahir pada wuku Wayang. Setelah mendengar hal itu,
Batara Kala teringat bahwa adiknya, Dewa Kumara lahir pada hari Sabtu Kliwon wuku Wayang. Karena itu ia ingin menyantapnya,
tetapi dilarang oleh Batara Siwa dengan alasan adiknya masih terlalu kecil.
Setelah beberapa lama, datang lagi Batara Kala mohon agar adiknya bisa disantapnya,
namun sebelumnya Batara Siwa telah menyuruh Dewa Kumara lari ke bumi. Mengetahui
hal tersebut Batara Kala lalu mengejarnya ke Bumi. Untuk menghalangi
tertangkapnya Dewa Kuamra, Batara Siwa dengan Batari Uma dengan mengendarai
lembu putih turun. Ia ke dunia tepat tengah hari. Kala pun dihadangnya. Melihat
hal ini Siwa pun mau disantap namun Siwa berkelit melalui teka-teki yang harus
dikupas.
Kalau
ia berhasil bisa menyantapnya. Akhirnya Batara Kala pun tidak berhasil mengupas
teka-teki itu hingga akhirnya waktu telah condong ke barat. Sementara Dewa
Kumara telah jauh larinya. Dengan sangat geramnya Bhatara Kala mengejarnya.
Karena kepepet Dewa Kumara bersembunyi pada onggokan sampah. Sang Kala
menerkamnya, dan Kumara pun berlari lagi. Batara Kala pun mengutuk orang ynag
membuang sampah supaya terkena penyakit menular, sembari berlari mengejar Dewa
Kumara.
Dewa
Kumara lalu bersembunyi di tungku api di dapur orang. Dewa Kala melihatnya, lalu
mengambil dari tungku api kanan. Kumara pun keluar melalui tungku api kiri, dan
Kumara terlepas dari terkamanya. Dewa Kala lagi-lagi mengutuk orang, agar siapa
saja yang tidak menutup tungku bila memasak akan mengalami kebakaran.
Sementara
itu Dewa Kumara telah jauh pergi dan bertemu dengan pegelaran wayang. Dengan
sedihnya ia mohon belas kasihan Ki Dalang agar sudi menyembunyikan dirinya
sehingga tak ditemukan oleh Batara Kala. Ki Dalang belas kasihan lalu menyuruh
Dewa Kumara masuk ke dalam bungbung
gender-nya. Dewa Kumara sangat gembira mengikuti petunjuk Ki Dalang.
Sementara Dewa Kala pun tiba. Ia melihat pajangan banten. Karena lapar, lalu ia menyantap habis bebantenan tersebut.
Setelah
kenyang lalu ia bertanya kepada Ki Dalang, di mana Dewa Kumara itu berada. Dengan tenang Ki Dalang menjawab
dan menjelaskan bahwa Dewa Kumara ada pada perlindungannya. Bilamana Dewa Kala
dapat mengembalikan banten itu dengan
utuh, Dewa Kumara akan diserahkan. Kalau tidak, Dewa Kumara tidak boleh disantap.
Tentu
saja Dewa Kala tak bisa mengembalikan banten
yang telah disantapnya. Ia pun akhirnya menyerah. Dewa Kumara lalu dipulangkan
ke sorga. Ki Dalang dan Dewa Kala bercakap-cakap dan mengadakan kesepakatan.
Bilamana ada orang yang lahir pada wuku
Wayang dan tidak dilukat dengan penglukatan
Mpu Leger, boleh disantap oleh Dewa Kala. Dewa Kala pun menjadi senang.
Sejak
itulah, setiap anak yang lahir pada wuku
Wayang mesti di-bayuh dengan penglukatan wayang. Bayuh oton bagi anak yang lahir pada wuku Wayang memerlukan jenis upakara
yang jauh lebih besar dan harus menanggap wayang serta diselesaikan oleh dalang
yang ahli untuk itu. Dalang ini disebut Sang Mpu Leger. Pagelaran wayang bayuh oton biasanya menghambil cerita
Batara Kala.
(Baca: Melihat Diri Sendiri dalam Wayang)
(Baca: Melihat Diri Sendiri dalam Wayang)
Teks dan Foto: Ketut Jagra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar