Teks dan Foto: I Made Sujaya
Banyak
orang menyebut sekarang ini zaman uang. Tiada yang lebih berkuasa kini selain
uang. Orang-orang kini menempatkan uang
di atas segalanya. Ungkapan yang menyebut uang di masa sekarang menjadi raja
ada benarnya.
Dalam
pemahaman ilmuwan modern, keadaan itu disebut sebagai materialistis. Materi,
terutama uang, mendapatkan posisi mahapenting dalam kehidupan manusia.
Materialisme kemudian melahirkan perilaku hidup konsumtif.
Orang
Bali pun kini tak luput dari pengaruh zaman
uang tersebut. Budaya materialistis dan gaya
hidup konsumtif kian terasa kuat dalam kehidupan masyarakat Bali .
Jika
dicermati, Bali memiliki cukup banyak konsep,
ajaran dan hari suci yang fungsinya untuk mengingatkan manusia agar tidak gila
terhadap uang. Salah satu tradisi itu, perayaan hari Buda Wage Kelawu atau BudaCemeng Kelawu yang jatuh saban Buda Wage wuku Kelawu. Hari raya itu kini bakal
dirayakan manusia Bali pada Rabu (19/2) hari ini.
Awam
memang memaknai Buda Cemeng Kelawu sebagai hari piodalan pipis. Namun, sejatinya Buda Cemeng Kelawu memiliki makna
yang lebih dari sekadar piodalan pipis.
Buda Cemeng Kelawu dapat disamakan dengan hari keuangan ala Bali. Pada Buda
Cemeng Kelawu orang Bali diingatkan tentang hakikat uang dalam kehidupan.
menarik
dari perayaan hari suci Buda Cemeng Kelawu di kalangan orang Bali awam yakni
adanya keyakinan mengenai pantangan untuk bertransaksi menggunakan uang. Di
sejumlah daerah juga disebutkan saat Buda Cemeng Kelawu dipantangkan untuk
membayar atau menagih utang-piutang atau pun memberikan/menyedekahkan beras
kepada orang lain.
Bagi
orang yang hidup dalam tradisi modern, pantangan semacam ini tentu saja sulit
untuk diterima. Dinamika perekonomian masyarakat yang begitu tinggi membuat
tidak mungkin untuk menghentikan transaksi menggunakan uang dalam sehari.
Menghentikan transaksi berarti juga menghentikan kegiatan ekonomi. Berhentinya
kegiatan ekonomi berarti kerugian.
Namun,
pantangan bertransaksi menggunakan uang dan alat pembayaran sejenisnya di hari
Buda Cemeng Kelawu mesti dimaknai sebagai sebuah kearifan lokal Bali dalam memandang arti dan makna uang. Orang Bali menyadari uang merupakan sesuatu yang telah
menempati posisi sangat penting dalam kehidupan masyarakat saat ini. Terlebih
lagi di masa serbaparadoks kini. Seperti disuratkan dalam Nitisastra, di zaman
Kaliyuga yang menang adalah ia yang memiliki uang. Dengan uang, orang kini bisa
melakukan apa saja untuk memuaskan keinginannya. Mulai dari membeli mobil
terbaru, rumah mewah hingga membeli jabatan tinggi.
Karena
begitu berkuasanya uang di zaman Kaliyuga, orang Bali
senantiasa diingatkan untuk bisa mengendalikan dirinya dalam memandang,
memaknai, memperlakukan serta mencari uang. Saat Buda Cemeng Kelawu, orang Bali disadarkan
betapa uang bukanlah segalanya, uang bukanlah dewa. Dengan membiarkan
uang diam, tidak dibayarkan dan tidak beredar, orang Bali
diingatkan tentang hakikat uang. Yang berkuasa atas segala dunia ini adalah
Yang Maha Agung, Yang Mahasumber, Yang Maha Pencipta.
Dalam
suatu kesempatan, budayawan I Wayan Geria menyatakan sepatutnya Bali bersyukur
karena memiliki modal yang sangat penting dan kuat yakni budaya. Hanya saja,
modal itu selama ini dimaknai sebagai benda semata. Inilah yang kemudian
mendorong lahirnya budaya materilialisme dan gaya hidup konsumtif.
Modal
sebagai budaya, nilai-nilai atau konsep-konsep hidup dilupakan. Diperparah lagi
dengan pengaruh globalisasi, modal budaya itu semakin ditinggalkan.
Globalisasi, menurut Geria, memang ditularkan melalui tiga hal penting yakni
teknologi, media dan ideologi. Namun, teknologi, media dan ideologi juga
dipahami sebagai benda semata, padahal lebih dari sekadar kebendaan.
“Ideologi
misalnya, yang berkembang sekarang adalah ideologi pasar, ideologi uang.
Semuanya diukur dengan uang,” kata mantan Dekan Fakultas Sastra Unud ini.
Hal
itulah kemudian menyebabkan banyak orang kini berpikiran pragmatis atau instan.
Masyarakat di lapisan bawah kini kebanyakan berpikir mudah dan cepat saja.
Ketika membincang desa pakraman misalnya, yang terbayang dalam pikiran
masyarakat Bali sekarang adalah seberapa besar
bantuan yang diterima. Padahal, desa pakraman
menyangkut hal-hal yang sangat esensial dalam pengembangan kebudayaan Bali , lebih dari sekadar bantuan material.
Para
pemimpin atau tokoh-tokoh berpengaruh di Bali
juga mengikuti irama itu. Tatkala hendak mencalonkan diri sebagai gubernur,
bupati dan anggota dewan, kebanyakan yang menghambur-hamburkan uang, ke sana-ke
mari membagi-bagi uang, memberi bantuan untuk mendapat dukungan rakyat. Ini tak
pelak menyebabkan masyarakat semakin berpikir pragmatis, selalu berpikir
bantuan dan bantuan. Sikap mandiri menjadi sulit terbangun.
“Semestinya
lapisan menengah, seperti para ilmuwan, intelektual dan cerdik-cendikia yang
mengembalikan keadaan dunia agar tidak semakin terseret ke dalam kubangan
budaya materilistis, jzaman serbauang. Tapi sayangnya, kalangan ilmuwan,
intelektual dan cerdik-cendikia kita juga ikut kena pengaruh gaya hidup materilistis, pragmatis,” kata
Geria.
Kendati
begitu, Geria menilai sikap optimistis harus terus dipupuk. Salah satu upaya
untuk mencegah kian parahnya gaya
hidup materlistis yakni semakin meningkatkan kualitas dunia pendidikan.
Pasalnya, hanya dari pendidikanlah keadaan dunia bisa dibenahi. (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar