Dari Promosi Doktor I Putu Gede Suwitha Teks dan Foto: I Made Sujaya Multikulturalisme telah tumbuh sejak lama di Bali. Salah s...
Dari Promosi Doktor I Putu Gede
Suwitha
Teks dan Foto: I Made Sujaya
Multikulturalisme telah tumbuh sejak lama di Bali. Salah
satu cermin multikulturalisme di pulau mungil ini terlihat dalam dinamika
masyarakat Bugis yang sejak abad ke-17 telah berdiaspora ke Bali. Di Kabupaten
Badung dan Kota Denpasar, masyarakat Bugis telah memainkan peranan yang
krusial, terutama di bidang politik dan ekonomi.
I Putu Gede
Suwitha dalam disertasinya berjudul “Dinamika Masyarakat Bugis di Kabupaten
Badung dan Kota Denpasar” yang dipertahankan pada Ujian Terbuka Program Doktor
Kajian Budaya Pascasarjana Unud, Jumat (7/2) lalu menerangkan kelangkaan sumber
daya manusia dengan kompetensi tertentu, seperti pedagang, membuat satu-satunya
pilihan yang tersedia secara historis adalah orang-orang Bugis ini. Selanjutnya
terjadi kerja sama dan kontak-kontak kultural melalui cultural broker (pialang
budaya), seperti haji, ulama dan tokoh-tokoh lainnya yang saling mengadakan
kontak kultur, saling memberi dan menerima unsur-unsur budaya masing-masing.
Hal ini, kata
Suwitha, kemudian berkembang sebagai alat untuk mendekatkan diri menuju
kehidupan multikultur. Untuk dapat mempertahankan eksistensinya, masyarakat
Bugis melakukan akulturasi dan adaptasi budaya. “Masyarakat Bugis mempunyai
kekenyalan budaya dalam beradaptasi dengan budaya dominan masyarakat Bali.
Kemampuan ini sebenarnya menjadi modal dasar dalam eksistensinya selama ratusan
tahun di lingkungan masyarakat Bali yang beragama Hindu,” kata dosen Sejarah
Fakultas Sastra dan Budaya Unud ini.
Salah satu
ciri masyarakat diaspora, imbuh Suwitha, yakni kepandaiannya memainkan
identitas sesuai dengan keperluan. Praktik-praktik budaya yang dilakukan
orang-orang Bugis yang berjuang melawan budaya hegemonik mencair ketika berada
dalam ruang-ruang publik, duduk bersama, bergaul secara akrab dengan
mementingkan kehidupan yang riil. Dengan begitu, kehidupan multikulturdan
bhineka tunggal ika menjadi kenyataan (praksis) dan pada gilirannya mereka
mengadopsi nilai-nilai lokal Bali, seperti manyama braya, ngejot, saling seluk
dan sebagainya.
Tapi, Suwitha
mengamati, dalam dinamika ratusan tahun, kelompok diaspora masyarakat Bugis di
Bali mengalami pasang-surut. Dalam konstelasi politik dan ekonomi terdapat struktur-struktur
yang menghegemoni mereka, seperti program-program pembangunan pada zaman Orde
baru. Hegemoni “pembangunan” dan pariwisata global menyebabkan masyarakat Bugis
mulai mengalami keterpinggiran.
“Pariwisata
bagi masyarakat Bugis adalah dunia asing dan dianggap negatif. Mereka tidak
mampu menyuarakan diri sehingga menyebabkan mereka makin terpinggirkan,” beber
Suwitha. Keterpinggiran masyarakat Bugis, khususnya di Denpasar, diawali dengan
adanya reklamasi Pulau Serangan.
Menjawab
pertanyaan salah seorang undangan akademik, IBG Pujaastawa mengenai logika
paradoksal dalam dinamika masyarakat Bugis yang di satu sisi disebut memiliki
kekenyalan budaya yang kuat sehingga mampu beradaptasi tetapi di sisi lain
tidak mampu beradaptasi dengan perkembangan pariwisata, Suwitha menyatakan
pariwisata di Bali memang masih sangat muda. Sementara modal kekenyalan budaya
yang dimiliki masyarakat Bugis sudah dibuktikan selama ratusan tahun.
“Masyarakat
diaspora Bugis di Bali kini berada dalam proses adaptasi terhadap perkembangan
pariwisata global. Masyarakat Bugis juga sudah ada yang bergerak di sektor
pariwisata, selain menekuni pekerjaan utama mereka sebagai pedagang dan petani.
Mereka umumnya bergerak di sektor penunjang pariwisata, belum bersentuhan
langsung dengan bidang pariwisata,” beber suami Ni Nyoman Parmiti ini.
Suwitha
berharap pemerintah menginternalisasikan dunia pariwisata kepada masyarakat
Bugis. Dengan begitu, mereka tidak semakin terpinggirkan akibat perkembangan
pariwisata.
Selain itu,
Suwitha menilai kecerdasan lokal (local genius) etnis Bugis sebagai etnis
maritime (bahari) perlu diproteksi karena merupakan warisan leluhur dan hal itu
penting bagi Bali. “Kampung-kampung Bugis yang mulai tergerus modernisasi dan
pariwisata global perlu dilindungi pemerintah,” tandas Suwitha.
Disertasi
Suwitha yang dipromotori Prof. Dr. I Gde Parimartha, Kopromotor I Prof. Dr. I
Wayan Ardika dan Kopromotor II Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna akhirnya
dinyatakan diterima oleh tim penguji dengan predikat kelulusan memuaskan.
Suwitha menyelesaikan studinya dalam waktu yang cukup lama, hampir 10 tahun. (b.)
KOMENTAR