Teks dan Foto : I Made Sujaya*)
Jika manusia disebut sebagai makhluk tidak
sempurna, salah satu ketidaksempurnaannya, yakni sering dan mudah lupa. Jangankan
sesuatu yang sudah terjadi puluhan tahun silam, terhadap peristiwa yang dilalui
beberapa saat lalu pun manusia kerap kali begitu susah untuk mengingatnya.
Tidak hanya sering dan mudah lupa terhadap apa yang dilakukannya, manusia juga
teramat sering lupa dengan kesejatian dirinya.
Boleh
jadi itu sebabnya tradisi Bali mengingatkan agar selalu ingat dengan diri. Di
masa lalu, orang-orang tua di desa kerap lali mengingatkan anak-anak agar seleg ningehang tutur. Pada kesempatan
yang lain, seorang nenek yang mendongeng untuk cucu-cucunya selalu memulai
dengan ungkapan, “Ada
tutur-tuturan satua.”
Kedua
pesan ini terasa amat sederhana, memang. Namun, pesan itu sungguh tidaklah
sederhana makna. Tutur, dalam kosa
kata Jawa Kuno bermakna ‘ingat’. Makna ini diselaraskan dengan makna kata jagra yakni ‘sadar’. Logikanya, hanya
orang yang sadar yang bisa ingat. Terlebih lagi ingat akan hakikat jati diri (yan matutur ikang atma ri jatinya).
Kesadaran
akan hakikat jati diri itu akan mendorong pada kesadaran untuk senantiasa ingat
kepada asal mula dan ke mana kita akan kembali (sangkan paraning dumadi). Suatu pemahaman yang bisa disepadankan
dengan kesadaran seorang sajjana yang senantiasa tan wismreti sangkan nikang hayun teka (tidak pernah lupa dari mana
datangnya anugerah dan kerahayuan itu). Artinya, kesadaran pada wilayah duniawi
akan segera dijemput pula dengan kesadaran pada wilayah rohani.
Lantas,
manakala orang-orang tua di rumah berucap, ngeraos
ento aluh, sakewala nutur ane keweh,
barangkali segera akan bisa kita pahami. lantaran, esensi orang nutur tidak semata ucap, tapi apa isi
ucapan itu. Terpenting lagi, seberapa ucap itu mampu membangunkan kesadaran
seseorang.
Dari
sini pula barangkali bisa kita pahami pula mengapa para orang tua kita di Bali
dalam kegiatan nyastra senantiasa menjadikan naskah-naskah tutur sebagai
wilayah perburuannya. Tutur sendiri merupakan jenis naskah kesusastraan Indonesia asli
yang prinsipnya memuat ajaran kerohanian. Tutur itu sendirilah yang akhirnya
bertutur dalam wilayah diri sang sujana
yang mengakrabinya.
Kata
tutur kini menjadi menarik untuk
dibincangkan manakala Rabu (29/1) hari ini umat Hindu merayakan hari suci
Siwaratri. Dalam lontar Siwaratrikalpa
yang menjadi pegangan dalam pelaksanaan brata Siwaratri, kata tutur mendapat perhatian penting. Saat
hari keempat belas paruh gelap bulan ke tujuh, umat diingatkan untuk majagra, melek semalam suntuk menuju
keadaan tutur (sadar).
Manusia
dipersepsikan berada dalam belenggu raga (obyek indra, nafsu), dinyatakan
sebagai orang yang tidur (aturu atau tan atutur). Orang yang tidur adalah
orang yang tidak sadar, lupa; tidak sadar atau lupa pada hakikat jati dirinya.
Dia penuh dengan kegelapan hati, kehilangan kesadaran rohani. Orang yang tanpa
kesadaran rohani disebut sawa. Sawa berarti ‘jazad’ yaitu simbol orang
yang tidak memahami kenyataan sejati, orang yang mati. Hidup tanpa kendali
kesadaran rohani dapat disamakan dengan orang dalam keadaan kesadaran sawa.
Untuk mengubah kesadaran sawa itulah, dilakukanlah pemujaan ke hadapan Siwa dengan tetap
terjaga (tutur) dalam kesadaran pada
hakikat jati diri. Karena Siwa adalah dewa pemaaf. Kata siwa dalam bahasa Sanskerta berarti ‘baik hati, pemaaf,
membahagiakan dan memberi banyak harapan’. Selamat Hari Suci Siwaratri! (b.)
*) Art\ikel ini dimuat di DenPost Minggu, 26 Januari 2014, halaman 6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar