Teks dan Foto: I Made Sujaya Keprihatinan kini meliputi bangsa ini. Bencana hadir di mana-mana. Jakarta dan Manado diguncang banjir bes...
Teks dan Foto: I Made Sujaya
Keprihatinan
kini meliputi bangsa ini. Bencana hadir di mana-mana. Jakarta dan Manado
diguncang banjir besar. Gunung Sinabung meletus. Terakhir, ujung utara Bali,
Buleleng, digedor banjir dan longsor yang menelan korban empat orang tewas dan
puluhan warga terpaksa mengungsi.
Dalam kamus
alam, begitu juga yang terungkap dalam teks-teks tradisional Bali, tiada
istilah bencana alam. Apa yang terjadi pada alam sejatinya lebih sebagai upaya
alam menjaga keseimbangan. Manakala keseimbangannya terganggu, alam akan
mengembalikan keseimbangan itu.
Itu sebabnya,
inti tradisi-tradisi Bali sejatinya mengajarkan untuk senantiasa menjaga
keseimbangan, merawat harmoni alam. Caranya sangat sederhana, bersahabat akrab
dengan alam. Jika manusia berkepentingan menjaga kesehatan tubuhnya, kesehatan
alam pun patut dijaga. Pasalnya, bhuwana
agung (alam) sama dengan bhuwana alit
(tubuh manusia).
Menurut
pendharma wacana (penceramah agama) serta penulis buku-buku agama Hindu, I Ketut Wiana, dalam lontar Purana Bali disebutkan ada enam
jurus untuk merawat harmoni alam sehingga tak menjelma keburukan bagi manusia.
Keenam jurus itu dikenal dengan sebutan sad
kertih, enam aspek menjaga keseimbangan alam.
Bagian
pertama dari sad kertih yakni atma kertih. Atma kertih, menurut Wiana, tiada lain suatu upaya pelestarian
segala usaha untuk menyucikan Sang Hyang Atma dari belenggu tri guna.
Samudra kertih, bagian kedua, yaitu upaya menjaga
kelestarian dan kesucian samudra sebagai seumber alam yang memiliki fungsi yang
sangat kompleks dalam kehidupan umat manusia. Di lautlah diadakan upacara melasti, nganyut, mapakelem, dan
lainnya. Semua upacara itu bermakna untuk memotivasi umat agar memelihara
kelestarian laut.
Bagian ketiga
yang cukup dikenal orang Bali, wana kertih,
yaitu upaya untuk melestarikan hutan. Karena itu di hutan umumnya dibangun Pura
Alas Angker untuk menjaga kelestarian hutan secara niskala. Di hutan juga ada
upacara pakelem. “Dengan upacara
tersebut umat hendaknya terdorong untuk membuat program-program aksi memelihara
keutuhan hutan,” kata Wiana.
Selanjutnya danu kertih, yaitu suatu upaya untuk
menjaga kelestarian sumber-sumber air tawar di daratan. Seperti mata air,
danau, sungai, dan lainya. Di danau ini juga diadakan upacara keagamaan yang
berbentuk ritual sakral. Pura-pura sakral juga kerap didirikan di danau seperti
Pura Ulun Danu, Pura Ulun Carik atau Pura Bedugul.
Jagat kertih merupakan bagian yang kelima. Jagat kertih yaitu upaya untuk
melestarikan keharmonisan hubungan sosial yang dinamis dan produktif
berdasarkan kebenaran. Wadah kehidupan bersama mewujudkan kebenaran (satya) membangun keharmonisan sosial
yang dinamis dalam masyrakat Hindu di Bali yakni Desa Pakraman. Di desa
pakraman inilah dikenal konsep tiga keselarasan hubungan yakni tri hita karana.
Yang
terakhir, jana kertih yakni ngertiyang manusia secara individu. Jana kertih merupakan puncak dari sad kertih, yakni membangun manusia yang
sempurna.
Pada
hakikatnya, hampir seluruh ritual agama Hindu di Bali memiliki makna dan tujuan
mengharmonikan alam semesta. Terlebih lagi, masyarakat Hindu di Bali juga
mengenal konsepsi tri hita karana
yang secara harfiah diterjemahkan sebagai tiga perilaku harmoni untuk mencapai
kebahagiaan. Ketiga pilar perilaku harmoni itu yakni, keselarasan hubungan
dengan Tuhan, keselarasan hubungan dengan sesama manusia serta keselarasan
hubungan dengan lingkungan.
Hanya saja,
sejauh mana manusia Bali mau dan mampu menyegarkannya sesuai dengan konteks
kekinian. “Selanjutnya, dengan sepenuh hati mengimplementasikannya menjadi laku
nyata sehari-hari,” kata Wiana. Bukan sekadar riuh ritual yang lepas dari
konteks. (b.)
COMMENTS