Teks dan Foto: I Made Sujaya
Desa
Kapal, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung dikenal sebagai pusat kerajinan
sanggah dan gerabah, memang. Dari dua trade
mark Desa Kapal ini, Banjar Basang Tamiang-lah yang menonjol sebagai
kompleks kerajinan gerabah yang kerap dimanfatkan untuk keperluan upacara
keagaman seperti membuat coblong, cobek, caratan dan sejenisnya.
Maklum,
seluruh pekarangan rumah di banjar ini pasti memiliki usaha kerajinan gerabah.
Paling tidak, sebagai pekerjaan sambilan. Seolah sudah disuratkan zaman,
kerajinan gerabah tetap harus hidup, mengalir dari generasi ke generasi di
banjar ini.
“Tak
ada yang berani sampai tidak melakukan pekerjaan ini. Minimal dalam satu
pekarangan rumah ada yang menggelutinya,” tutur Ni Wayan Rini, seorang warga
Basang Tamiang yang sehari-hari sebagai pengerajin gerabah.
Memang,
ada semacam keyakinan di kalangan warga setempat agar mereka tiada memutus
kelanjutan pekerjaan warisan leluhurnya ini. Bila tidak, petaka dipercayai akan
menghampiri kehidupan keluarga mereka.
Tidaklah
diketahui secara pasti dan benderang apa yang menjadi dasar keyakinan ini. Tokoh
masyarakat Basang Tamiang yang juga penekun sastra, Ketut Sudarsana pun belum
menemukan sumber susastra yang mendasari keyakinan warga di tempatnya itu.
“Meski tanpa ada dasar susastra, warga Basang Tamiang tiada berani
melanggarnya,” kata Sudarsana.
Yang
jelas, karena mitos ini, kerajinan gerabah untuk keperluan upacara di Bali
tetap bisa dipertahankan. Dan, di banjar Basang Tamiang inilah pertahanan itu
begitu kokohnya.
Selain
mitos soal kewajiban menggeluti kerajinan gerabah ini, warga Basang Tamiang
juga memiliki keyakinan pekerjaan bergelut dengan lumpur tanah liat menjadi
takdir mereka. Orang luar Basang Tamiang dipercaya tidak akan bisa menggeluti pekerjaan ini.
Bahkan, orang Basang Tamiang yang sudah kawin ke luar banjar ini pun tidak akan
bisa menekuni pekerjaan ini di tempatnya yang baru.
Pernah
terjadi, tutur Sudarsana, seorang warga Basang Tamiang yang kawin ke Mengwitani
ingin mengembangkan kerajinan gerabah yang dilakoninya di Basang Tamiang.
Ternyata, usaha warga itu gagal terus.
“Kalau
orang luar yang sudah menjadi warga dan tinggal di Basang Tamiang dan mau
menekuni profesi ini mesti mapekeling di Pura Dhalem Bangun Sakti,” imbuh
Sudarsana. Pura ini berada di wilayah Banjar Basang Tamiang. Di pura inilah
terdapat pelinggih Ibu Pertiwi yang
menjadi tempat warga Basang Tamiang yang menggeluti pekerjaan gerabah tepekur,
memohon restu untuk kesuksesan berusaha kerajinan gerabah.
Tak
cuma itu, tatkala dilaksanakan piodalan
di Pura Dhalem Basang Tamiang yakni Buda Wage Langkir, warga Basang Tamiang
yang menggeluti usaha kerajinan gerabah akan berhenti total, beristirahat dari
aktivitasnya. Mereka sepenuhnya ngayah
di Pura Dhalem Bangun Sakti. Ini dilakukan selama tiga hari penuh, selama Ida
Bhatara nyejer.
Menurut
Sudarsana, ini semacam penghormatan dan pernyataan bhakti yang tulus kepada Ida
Batara di Pura Dhalem Bangun Sakti yang telah memberikan anugerah bagi
kesuksesan usaha gerabah warga Basang Tamiang. Justru, bila ada warga Basang
Tamiang yang mengerjakan gerabah pada hari piodalan
tersebut, petaka bakal menimpanya.
“Bila
tidak terjadi kebakaran di tempat bekerja, bisa juga terjadi kecelakaan atau
terjatuh dan macam-macam,” kata Sudarsana.
Begitulah
usaha kerajinan gerabah Basang Tamiang yang dijaga beragam mitos. Sulit
dipercaya, memang. Namun, bagi warga Basang Tamiang, itos itu adalah sebuah
keyakinan. Dan, mitos ini pula yang membuat tradisi kerajinan gerabah di Basang
Tamiang terjaga hingga kini. (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar