Tradisi Maturan ke Sanggah Gede, Tradisi Hari Raya Galungan dan Kuningan
Memotret “Simakrama” Orang Bali di
Hari Galungan dan Kuningan
Teks dan Foto: I Putu Jagadhita
PERAYAAN hari Galungan dan Kuningan menjadi
momentum orang Bali memperkuat ikatan kekeluargaan dan persaudaraan. Berbagai
tradisi digelar sepanjang hari besar orang Bali itu. Ada tradisi mapatung di hari Penampahan Galungan dan
Kuningan. Ada tradisi nekang jotan
bagi pasangan penganten baru. Ada pula tradisi maturan ke sanggah gede.
Tradisi maturan ke sanggah gede dilakoni hampir sebagian besar orang Bali, terutama di
daerah Bali Timur dan Bali Utara. Kala hari Galungan dan Kuningan, orang Bali
tidak hanya menghaturkan sesaji dan berdoa di sanggah di rumahnya sendiri,
tetapi juga membawa sesaji dan berdoa ke sanggah
gede milik keluarga, termasuk juga ke pura panti atau paibon.
Di Karangasem
dan Klungkung, tradisi ini masih kuat. Malah, tradisi ini terkesan menjadi
kegiatan inti dalam perayaan Galungan dan Kuningan.
Komang
Suastika (35) seorang warga Desa Kusamba, Klungkung, menuturkan saat hari
Galungan dan Kuningan, dia bersama keluarganya akan bangun lebih pagi, sekitar
pukul 04.00 Wita. Mula pertama, sang istri menghaturkan sesaji di sanggah di rumah. Berikutnya dilanjutkan
maturan ke pura-pura kahyangan tiga di desa, seperti Pura
Dalem, Pura Puseh dan Bale Agung serta Pura Segara.
“Keluarga
yang memiliki kerabat masih dikubur di kuburan desa biasanya akan datang ke
kuburan dulu menghaturkan punjung
(sesaji khusus untuk orang yang sudah meninggal),” kata Suastika.
Setelah semua
kegiatan itu selesai, barulah dilaksanakan tradisi maturan ke sanggah gede.
“Bukan hanya sanggah gede, juga ke sanggah-sanggah keluarga yang masih memiliki
ikatan kekerabatan, terutama sanggah di rumah asal nenek, sanggah di rumah asal
ibu dan lainnya,” tutur Suastika.
Tradisi
serupa juga ternyata masih terjadi di Desa Tista, Busungbiu, Buleleng. Hanya
bedanya, di desa ini tradisi maturan
diwujudkan dengan membawa sesaji ke rumah kerabat tetapi tidak diikuti dengan muspa. Sesaji yang dibawa berupa ajengan yang diberikan si empunya rumah.
Selanjutnya, si empunya rumah juga akan membalas “kiriman” ajengan itu dengan membawa ajengan
serupa dalam suatu kunjungan balasan.
“Ajengan itu nanti dihaturkan oleh si
empunya rumah. Nanti juga di-surud si
empunya rumah,” kata Made Nadi, salah seorang warga sepuh Dapdap Putih.
Tradisi maturan ini bila dicermati sejatinya
semacam ruang simakrama antarkeluarga
dalam perayaan Galungan dan Kuningan. Banten
atau sesaji yang dibawa atau dihaturkan menjadi sarana untuk menjaga ikatan
kekeluargaan itu.
Memang, orang
Bali memberikan makna istimewa pada banten.
Bagi orang Bali, banten lebih dari
sekadar sarana upacara, tetapi juga cerminan bahasa hati, cara untuk
mengungkapkan sesuatu, terutama ke hadapan Sang Pencipta. Melalui banten, bahasa hati diungkapkan,
meskipun bahasa ucap tak sampai menjelma.
Tradisi maturan ke sanggah gede atau keluarga
ini kerap kali dilengkapi dengan tradisi baru: saling berbagi. Mereka yang
berpunya akan memberikan sedikit kepada mereka yang kurang punya. Lihat saja
anak-anak yang begitu bahagia saban Galungan tiba karena isi kantong mereka
bertambah. Ada
pemberian paman, bibi, kakak, kakek, nenek dan lainnya.
Itu sebabnya,
Galungan dan Kuningan sejatinya bukan sekadar sebuah hari perayaan dengan landasan
filosofis keagamaan kental seperti pemaknaan hari kemenangan dharma dan adharma
tetapi sesungguhnya juga jauh lebih nyata sebagai hari kekeluargaan ala Bali.
Pada hari Galungan dan Kuningan itulah, keluarga yang terpencar bertemu di
sanggah gede, saling menyapa, saling bergurau sambil tertawa lepas tanpa beban.
(b.)
COMMENTS