Teks: I Made Sujaya, Foto: AA Yuliantara
JUMAT (1/11) hari ini, masyarakat Ubud dan
sekitarnya kembali disuguhi sebuah pentas ritual akbar pelebon di Puri Ubud. Seperti biasanya, pelebon bangsawan Ubud ini
selalu berlangsung megah, mewah dan meriah. Kemegahan dan kemewahan ditunjukkan
dengan penggunaan bade (menara
pengusung jenazah) yang menjulang serta boneka raksasa berbentuk naga yang
disebut naga banda. Prosesi yang
biasa menarik perhatian orang tak hanya arakan pengusung bade, tetapi juga prosesi memanah naga banda yang dilakukan pendeta. Mengapa pelebon bangsawan Bali menggunakan naga banda?
Naga banda dalam pelebon merupakan tradisi yang lahir pada zaman Gelgel, sekitar
abad ke-15. Sejarah lahirnya tradisi penggunaan naga banda ini pun tergolong unik. Seperti kerap disebut dalam
sumber-sumber babad, penggunaan Naga
Banda itu bermula dari kisah Raja Gelgel sekitar abad ke-15, Dhalem
Waturenggong yang menguji Dang Hyang Astapaka.
Dang
Hyang Astapaka merupakan putra Dang Hyang Angsoka, kemenakan Dang Hyang
Nirartha (Dang Hyang Dwijendra). Pendeta ini sangat dikenal di Jawa dan
disebut-sebut bisa mengetahui apa yang akan terjadi di kemudian hari atau bisa
melihat sesuatu yang tidak tampak oleh orang awam. Orang Bali
menyebut kemampuan itu sebagai dura
darsana atau betel tingal.
Dhalem
Waturenggong mendengar kabar tersebut. Sang Raja pun mengundang Dang Hyang
Astapaka untuk datang ke Bali . Kebetulan saat
itu Dhalem Waturenggong tengah melangsungkan upacara maligya (upacara penyucian roh).
Dang
Hyang Astapaka mau datang ke Bali. Selain memenuhi undangan Dhalem Waturenggong
juga untuk menjenguk pamannya, Dang Hyang Dwijendra yang sudah lama di Bali .
Dhalem
Waturenggong penasaran dengan cerita soal kemampuan Dang Hyang Astapaka
mengetahui apa yang akan terjadi. Dhalem Waturenggong pun menguji kesaktian
Dang Hyang Astapaka. Sang Raja memerintahkan pembantunya untuk membuat sumur
yang diberi penutup. Sebelum Dang Hyang Astapaka tiba, Raja memerintahkan agar
ke dalam sumur itu dilemparkan seekor angsa dan sumur itu ditutup. Bila angsa
itu bersuara, maka akibat gema pantulan dinding lubang, suaranya terdengar
dahsyat dan jauh sekali berbeda dengan suara aslinya. Terlebih lagi bila
didengar dari jarak agak jauh.
Tatkala
Dang Hyang Astapaka tiba dan duduk di hadapan Raja, terdengar suara gemuruh
dari dalam sumur tersebut. Dhalem Waturenggong pun bertanya kepada Dang Hyang
Astapaka, apa gerangan suara gemuruh yang keluar dari sumur tersebut.
Dang
Hyang Astapaka menjawab, “Itu suara naga, Baginda.” Mendengar jawaban Dang
Hyang Astapaka, raja dan semua yang hadir di tempat itu pun tertawa karena
yakin bahwa angsalah yang dimasukkan ke dalam sumur. Sebaliknya Dang Hyang
Astapaka bersikukuh bahwa itu adalah suara naga.
Untuk
meyakinkan Dang Hyang Astapaka, Dhalem Waturenggong memerintahkan untuk membuka
penutup sumur. Baru dibuka, ternyata yang keluar adalah seekor naga. Naga
tersebut kemudian menghampiri Dang Hyang Astapaka dan melingkat di atas
pangkuannya.
Dhalem
Waturenggong dan semua yang hadir sontak terperanjat dan ketakutan. Raja pun
menanyakan apa makna semua itu. Dang Hyang astapaka lalu menjelaskan bahwa naga
itu adalah naga banda yang akan
menjadi kendaraan Raja menuju alam baka.
Saat
Dhalem Waturenggong wafat, dibuatkanlah naga
banda yang mengiringi jenazah sang Raja menuju alam sunya. Sejak saat itulah, upacara pelebon Raja Gelgel dan
keturunannya menggunakan naga banda.
Selain Raja, Pedanda Budha juga “berhak” menggunakan Naga Banda. Keluarga
bangsawan yang mendapat anugerah dari Raja Gelgel pun diberi “hak” menggunakan
Naga Banda. (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar