Teks dan Foto: I Made Sujaya
Hari ini, bertepatan dengan Buda Kliwon Pahang, Rabu (27/11) di Pura
Silayukti, Padangbai, Karangasem dilaksanakan pujawali. Di pura ini, jejak spiritual Mpu Kuturan bisa ditelusuri.
Pura ini diyakini sebagai pasraman Mpu Kuturan pada sekitar abad ke-11.
Sejarah
peradaban Bali memang berutang besar kepada Mpu Kuturan. Dialah yang menjadi
arsitek penting konsep desa pakraman, kahyangan tiga serta bangunan suci berbentuk meru yang kini
mewarnai wajah Bali. Terbukti kini, pemikiran visioner-cemerlang sang empu
menjadikan Bali sebagai pulau mungil yang bernuansa sosial-religius kental.
Menyebut
Mpu Kuturan, kita juga tak bisa mengabaikan keberadaan Pura Silayukti di Teluk
Padang yang kini dikenal dengan nama Padangbai. Di kawasan bukit yang oleh
orang-orang Padangbai dikenal dengan nama Gunung Luhur itulah pernah menjadi
pasraman Mpu Kuturan. Boleh jadi, perenungan mendalam sembari menyambut
kehangatan sang mahacahaya di pagi hari di tempat inilah yang membuahkan konsep
visioner Mpu Kuturan dalam menata Bali.
IB
Gde Agastia dalam buku Wija Kasawur
menyebut silayukti berarti ‘tingkah
laku yang benar dan baik’. Dan memang, di Gunung Luhur itulah Mpu Kuturan
melakoni perilaku hidup mendasar yang mulia dan benar.
Dalam
Dwijendra Tattwa disebut-sebut Raja
Gelgel, Dhalem Waturenggong memerintahkan Ki Gusti Penyarikan untuk
mengantarkan Danghyang Nirartha beristirahat di pasraman Mpu Kuturan di Silayukti. Sejarah kemudian mencatat,
selain sebagai purohita kerajaan Gelgel, Danghyang Nirartha juga menjadi
arsitek bangunan suci padmasana sebagai tempat pemujaan keesaan Ida Sang Hyang
Widhi Wasa. Konsep ini sejatinya sudah termaktub dalam konsep trimurthi rekaan Mpu Kuturan.
Pura
Silayukti hingga tahun 1931 masih berupa satu bangunan suci bebaturan. Baru
setelah pemerintahan kolonial Belanda, pelinggih
untuk memuja Mpu Kuturan diganti dengan
meru tumpang tiga yang masih terjaga sampai sekarang. Selain itu juga
dibangun sejumlah pelinggih pesimpangan
seperti pasimpangan Batara Lempuyang
Luhur (Iswara), pasimpangan Batara
Pura Dasar Bhuwana Gelgel, pesimpangan Batara
di Besakih (Putranjaya/ Siwa-Mahadewa), penyawangan
ke Pura Lempuyang Madya, pesimpangan
Batara di Andakasa serta gedong sthana Batara Mahadewa. Bangunan suci lainnya, manjangan sakaluang sebagai peninggalan
Mpu Kuturan, gedong rong dua
(kamimitan Empu Pascika), padmasana,
serta gedong betel (Batara Manik
Angkeran) serta meru tumpang dua
(Ratu Pasek). Belakangan, Pura Silayukti juga mengalami pembenahan, terutama
pada bagian tembok penyengker serta
candi bentar yang tampak lebih megah dari sebelumnya.
Di
dalam kawasan Bukit Silayukti juga terdapat Pura Tanjung Sari serta Pura Telaga
Mas. Pura Tanjung Sari terletak di ujung selatan kaki bukit, agak menjorok ke
laut, sekitar 100 meter dari Pura Silayukti. Pura ini diyakini sebagai tempat
pemujaan Mpu Baradah.
Memang,
Mpu Baradah pernah datang ke Bali sebagai utusan Raja Airlangga untuk bertemu
Mpu Kuturan. Raja Airlangga meminta agar salah seorang putranya bisa diangkat
menjadi raja di Bali. Permintaan ini ditolak oleh Mpu Kuturan dengan alasan
Bali mesti tetap diperintah dari dinasti Warmadewa yakni Anak Wungsu yang juga
masih merupakan adik bungu Airlangga. Kedatangan Mpu Baradah ke Bali dikenang
dengan piodalan di Pura Tanjung Sari
saban Buda Kliwon Wuku Matal.
Sementara
Pura Telaga Mas berada di sisi utara, bersebelahan dengan Pura Silayukti. Pura
ini diyakini sebagai tempat permandian Mpu Kuturan. Di sini hanya terdapat
bangunan gedong dan bebaturan. Pengempon pura ini kini Desa Adat Padangbai yang memiliki tiga
banjar dengan sekitar 700-an kepala keluarga (KK). (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar