Hari
Ini, Digelar “Ngusaba” Purnama Kalima
Teks: I Made Sujaya ,
Foto: www.balipost.co.id
Hari
ini, Minggu (17/11) merupakan hari istimewa bagi orang Bali karena bulan
kembali bulat penuh. Inilah purnama di bulan kelima dalam tradisi penanggalan
Bali. Tiap kali Purnama Kalima datang, umat Hindu dari berbagai pelosok Bali
bakal datang berduyun-duyun ke sejumlah pura penting. Salah satunya Pura Watu
Klotok yang berlokasi di Tojan, Klungkung. Di sini mereka duduk bersimpuh,
memohon kesuburan semesta alam.
Memang,
saban Purnama Kalima dilaksanakan ngusaba
di Pura Watu Klotok. Subak-subak di Klungkung yang mendapat aliran air langsung
dari Gunung Agung seperti Subak Yeh Jinah, Gelgel dan Kusamba menjadi penaggung
jawab dari pelaksanaan ritual ini. Selain Ngusaba Kelima, saban 210 hari sekali
juga dihaturkan aci yang tingkatannya alit yakni saat Anggarakasih Julungwangi,
sekitar satu setengah bulan lalu.
Pura
Watu Klotok memang memiliki arti penting dalam peta kosmologi Bali .
Pura Watu Klotok dengan pantainya memiliki kaitan yang erat dengan Pura Besakih.
Bila dilaksanakan upacara penting di Pura Besakih, di Watu Klotok juga bakal
dilaksanakan ritual setingkat.
Dalam
lontar Raja Purana Besakih disuratkan
setiap sepuluh tahun sekali, menjelang Tilem Kesanga, Ida Bhatara semua akekobok (bersuci) ke Pantai Watu
Klotok. Sedangkan saban lima
tahun saat Purnama Kadasa Ida Batara semua diiringkan ke Yeh Sah. Khusus untuk
empat tahun sekali pada Purnama Margasirsa (Kalima) Ida Bhatara diiringkan
mesucian ke Tegal Suci.
Keterkaitan
antara Pura Watu Klotok dengan Pura Besakih akan makin kentara manakala
dilaksanakan Ngusaba Kalima. Sebelum upacara dilaksanakan, warga pengamong Pura Watu Klotok akan matur
piuning ke Pura Besakih dan Ulun Danu Batur, selain ke Pura Dasar Gelgel, Pura
Goa Lawah dan Kentel Gumi sebagai Kahyangan Jagat di wilayah Kabupaten
Klungkung. Secara fisik, di Pura Watu Klotok juga terdapat pelinggih Ida
Bhatara Besakih berupa meru tingkat lima .
Yang
jelas, di Pura Watu Klotok dipuja Ida Sang Hyang Widhi sebagai penganugerah
kesuburan. Karena itulah, dalam tradisi masyarakat di sekitarnya, bila terjadi hama yang menyerang
tetanaman di sawah, petani bakal memohon keselamatan ke Pura Watu Klotok.
Demikian
penting arti Pura Watu Klotok, tetapi hingga kini belum terang benar kapan
sesungguhnya pura ini mulai berdiri. Menurut cerita lisan yang berkembang di
kalangan warga Desa Tojan, Pura Watu Klotok bermula dari sebuah batu makocel atau batu makocok. Diceritakan, pada zaman dahulu, seorang petani menemukan
batu ajaib di sawahnya saat mencangkul tanah. Keajaiban batu itu, karena setiap
kali dikocok, muncul bunyi beradu dari dalam batu itu. Karena dinilai ajaib,
batu tersebut kemudian menjadi sungsungan
subak dan berkembang menjadi Pura Watu Klotok.
Hingga
kini, batu makocok itu memang masih
tersimpan di Pura Watu Klotok. Bentuknya lonjong dan lumayan besar dengan
posisi berdiri. Warga sekitarnya meyakini batu makocok itu sangat bertuah. Wangsuhpada
atau air basuhan dari batu itu kerap dimanfaatkan petani untuk melindungi
tanamannya di sawah dari hama
dan penyakit.
Dari
tinggalan kuno berupa batu makocok
inilah, muncul dugaan tempat suci ini berasal dari zaman kuno megalitikum.
Dalam majalah Sarad No. 43, November
2003 disebutkan, pada zaman megalitikum, manusia memang lazim menjadikan batu
besar berdiri sebagai tempat pemujaan. Batu besar itu menjadi simbol pemujaan
terhadap kekuatan mahadahsyat sebagai mahasumber hidup.
Namun,
ada juga sumber yang menyebutkan Pura Watu Klotok didirikan oleh Mpu Rajakerta
atau Mpu Kuturan. Ini tersurat dalam lontar Dewa
Purana Bangsul. Mpu Kuturan memang merupakan orang suci dari tanah Jawa
yang kemudian menjadi pendeta penting di Bali
pada masa pemerintahan Raja Udayana sekitar abad ke-11. (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar