Menu

Mode Gelap
Tunduk Pada Pararem, LPD Kedonganan Terapkan Laporan Keuangan Adat Bebantenan, Cara Manusia Bali Menjaga Alam Semesta SMAN 1 Ubud dan SMAN 2 Semarapura Juarai Lomba Bulan Bahasa Bali di UPMI Bali Bulan Bahasa Bali VI Jalan Terus, Tapi di Hari Coblosan “Prai” Sejenak Konservasi Pemikiran dan Budaya Melalui Gerakan Literasi Akar Rumput

Ala Ayuning Dewasa · 22 Nov 2013 21:34 WITA ·

Inilah Hari-hari Pantangan Menikah dalam Tradisi Bali


					Sepasang penganten Bali melangsungkan upacara pernikahan menurut adat Bali. (balisaja.com/istimewa) Perbesar

Sepasang penganten Bali melangsungkan upacara pernikahan menurut adat Bali. (balisaja.com/istimewa)

Selain hari baik untuk melangsungkan pernikahan, masyarakat Bali juga mengenal hari buruk yang mesti dijauhi jika hendak melaksanakan upacara pernikahan. Ada beragam hari yang dianggap pantang untuk dipilih untuk melangsungkan pernikahan. Beberapa di antaranya, rangda tiga, was penganten dan uncal balung, panglong, dan ingkel wong.

Rangda tiga merupakan wuku tertentu yang dianggap buruk untuk melangsungkan pernikahan. Wuku-wuku itu yakni Wariga, Warigadean, Pujut, Pahang, Menail dan Prangbakat. Ada keyakinan, jika menikah pada saat rangda tiga, perkawinan bisa berakhir dengan perceraian.

Rangda itu artinya ‘janda’ (bisa juga duda). Rangda tiga artinya tiga kali menjadi janda atau duda, artinya pernikahan akan selalu gagal,” ujar penyusun kalender Bali dari Buleleng, Gede Marayana.

Sementara was penganten yakni hari-hari tertentu seperti Minggu Kliwon dan Jumat Pon wuku Tolu, Minggu Wage dan Sabtu Kliwon wuku Dungulan, Minggu Umanis dan Sabtu Pahing wuku Menail serta Minggu Pon dan Sabtu Wage wuku Dukut. Hari-hari ini juga dianggap kurang baik untuk melangsungkan pernikahan.

Yang paling dikenal sebagai hari pantangan melangsungkan pernikahan yakni Nguncal Balung. Nguncal Balung yakni hari sepanjang 35 hari, sejak Buda Pon Sungsang atau sehari sebelum Sugihan Jawa atau seminggu sebelum Galungan hingga Buda Kliwon Wuku Pahang yang juga kerap disebut sebagai Buda Kliwon Pegat Wakan. Kala itu, umat Hindu biasanya dipantangkan untuk melaksanakan upacara-upacara besar, utamanya yang bersifat ngewangun seperti ngaben dan pernikahan.

Masih ada juga hari pantangan untuk melangsungkan pernikahan yakni panglong. Panglong yakni hari sesudah bulan purnama. Hari yang dianggap baik untuk melangsungkan pernikahan yakni pada penanggalyakni hari sesudah tilem (bulan mati).

Selain dari sudut wuku dan hari, pantangan untuk melaksanakan pernikahan juga berdasarkan ingkel. Jika suatu hari berada dalam ingkel wong, hari itu juga dianggap tidak baik untuk melaksanakan pernikahan.

Ingkel wong artinya hari-hari naas bagi manusia. Karenanya, saat itu tidak baik melaksanakan kegiatan atau upacara yang berkaitan dengan manusia termasuk pernikahan,” kata Gede Marayana.

Namun, penekun wariga yang juga dosen Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) IB Putra Manik Aryana menyatakan tradisi padewasan di Bali tidaklah kaku benar. Tradisi padewasan bisa diberlakukan secara luwes, sesuai dengan kepentingan yang lebih besar.

Putra Manik mencontohkan sebuah kasus seorang perempuan yang sedang mengandung. Pacar perempuan itu sudah siap bertanggung jawab untuk menikahi perempuan itu. Namun, belum ada padewasan yang dianggap paling baik untuk melangsungkan pernikahan.

Jika ditunggu padewasan yang paling baik, anak yang lahir dari perempuan itu bisa dikategorikan sebagai anak bebinjat (anak haram). Karena itu, dibijaksanai untuk memilih hari yang dianggap kurang baik untuk upacara pernikahan dengan menyertakan caru pemarisudha mala dewasa.

Caru pemarisudha mala dewasa itu dilaksanakan pada pagi hari sebelum matahari terbit dan banten caru itu, setelah selesai di-lebar di lebuh (depan rumah),” kata Manik Aryana.

Maksudnya, saat para tamu yang datang sebagai manusa saksi sudah dimaklumi bahwa hari buruk pada pelaksanaan upacara itu sudah diharmonikan dengan caru pemarisuda mala dewasa. Dengan begitu, aura buruk yang dibawa orang-orang yang datang karena pilihan hari yang buruk bisa dinetralisir karena orang-orang itu, khususnya yang mengerti sudah tahu adanya caru pemarisudha mala dewasa. (b.)

  • Penulis: I Ketut Jagra
Artikel ini telah dibaca 2,805 kali

badge-check

Redaksi

Baca Lainnya

Hari Ini Nyepi Segara di Kusamba, Begini Sejarah, Makna, dan Fungsinya

9 November 2022 - 08:17 WITA

“Nyaagang” di Klungkung, “Masuryak” di Tabanan: Tradisi Unik Hari Kuningan

18 Juni 2022 - 14:29 WITA

Magalung di Kampung: Sembahyang Subuh, Munjung ke Kuburan, Malali ke Pesisi

8 Juni 2022 - 16:31 WITA

Tiga Jenis Otonan dalam Tradisi Bali

26 Mei 2022 - 00:57 WITA

Tari Rejang: Warisan Bali Kuno, Simbol Keindahan dan Kesucian

4 Juni 2021 - 22:50 WITA

Batu Lantang: Legenda Batu Panjang “Panekek Jagat”

3 Juni 2021 - 22:15 WITA

Trending di Legenda Bali