Hari
Ini, Pujawali di Pura Dalem Kayangan Alas Kedaton, Tabanan
Teks
dan Foto: I Made Sujaya
Jika
Anda berkunjung ke objek wisata Alas Kedaton, Desa Kukuh, Kecamatan Marga,
Tabanan, tidak hanya kelucuan canda kera-kera ekor panjang atau keasrian hutan
yang bisa Anda nikmati. Namun, Anda juga dapat merasakan getaran spiritual
kental yang terpancar dari sebuah pura yang berdiri di tengah-tengah Alas
Kedaton. Pura yang cukup bersahaja itu di kalangan warga Kukuh dikenal dengan
nama Pura Dalem Kayangan Kedaton. Orang luar kerap menyebutnya Pura Alas
Kedaton. Ada juga yang menyebut Pura Kedaton saja. Hari ini, Selasa, 12
November 2013 bertepatan dengan hari Anggarakasih Medangsia dilaksanakan pujawali di pura.
Pura
ini terbilang kuno, memang. Dalam lontar Usana
Bali, seperti dikutip Jro Mangku Ketoet Soebandi dalam buku Sejarah Pembangunan Pura-pura di Bali,
pura ini didirikan Mpu Kuturan yang juga dikenal dengan nama Mpu Rajakretha,
pada zaman pemerintahan Sri Masula-Masuli. Menurut Prasasti Desa Sading,
Badung, Raja Sri Masula-Masuli bertahta di Bali selama 77 tahun mulai tahun
1100 Saka (1178 Masehi) hingga 1177 Saka (1255 Masehi).
Data
dari sumber tradisional ini diperkuat lagi dengan bukti tinggalan arkeologis
yang tersimpan di pura ini. Seperti ditulis dalam buku Pura Dalem Kayangan Kedaton yang disusun I Made Sutaba dan
diterbitkan oleh Pengelola Obyek Wisata Alas Kedaton (2004) di sini ditemukan arca
Ganesa dan arca Durga Mahisasuramardhini. Kedua arca ini kini disimpan di
bangunan meru yang dikenal sebagai pelinggih Dalem Kayangan Kedaton bersama
sebuah lingga-semu yang terbuat dari batu yang bentuk bagian bawahnya berupa
segi empat dan bagian atas berbentuk silindris.
Arca
Ganesa dan Durgamahisasuramardhini, menurut Sutaba, memperlihatkan langgam dari
abad ke-14. Arca Ganesa menjadi salah satu bukti penting karena menjadi bukti
otentik waktu pembangunan Pura Dalem Kayangan Kedaton. Pada arca ini ditemukan
candrasengkala Gana (6), Naga (8) Dwi (2) Tunggal (1) yang berarti tahun 1286
Saka atau 1364 Masehi.
Namun,
Sutaba menduga Pura Dalem Kayangan Kedaton telah ada sebelum abad ke-14 yakni
sekitar 2000 tahun silam. Dugaan ini didasarkan pada adanya bentuk-bentuk
megalitik seperti beberapa buah menhir berukuran kecil, dibuat dari batu
andesit yang tidak diubah bentuknya atau yang tidak dikerjakan sama sekali.
Menhir-menhir itu oleh masyarakat setempat diberi nama sebagai pelinggih (bangunan suci) Ancangan, pelinggih Pengawal dan lainnya.
Peninggalan megalitik lainnya, susunan batu andesit yang ditata dengan baik di
atas bangunan yang disebut warga Kukuh sebagai pelinggih Pemuput.
Selain
menhir dan susunan batu andesit, di Pura Dalem Kayangan kedaton juga ditemukan tiga
buah arca megalitik atau arca nenek moyang. Arca tersebut dalam sikap
berjongkok di atas sebuah lapik, kedua tangannya menyilang dan ditumpangkan di
atas kedua lututnya. Dua di antara ketiga arca itu ditempatkan di dalam sebuah
ceruk di tembok meru yang disebut
Dalem Kayangan. Arca megalitik yang ketiga ditempatkan di atas sebuah bangunan
terbuka yang disebut Pelinggih Ancangan yang terletak di dekat pintu masuk pura
dari sebelah timur.
Bukan
hanya banyaknya tinggalan megalitik yang membuat Pura Dalem Kayangan kedaton
cukup unik, tetapi juga struktur pura yang tidak lazim. Bagian jeroan yang menjadi halaman utama dan
paling disucikan posisinya paling rendah. Jaba
tengah lebih tinggi dari jeroan
dan yang paling tinggi jaba sisi.
Selain itu, pura ini juga memiliki empat pemedal
(pintu masuk), yakni dari arah barat, utara, selatan dan timur.
Keunikan
lain di Pura Dalem Kayangan Kedaton dalam hal pelaksanaan upacara. Piodalan yang jatuh saban Anggarakasih
Medangsia tidak boleh berlangsung sampai malam hari. “Upacara mesti selesai
sebelum sandikala,” ujar mantan Bendesa
Pakraman Kukuh, Drs. IGM Purnayasa, S.H., M.Si.
Bagi
Anda yang ingin tangkil
(bersembahyang), jangan sekali-kali bersembahyang menggunakan dupa, serta kewangen,
karena tidak dibolehkan. Bahkan, segala bentuk api tidak boleh dinyalakan di
pura ini termasuk, lampu. Purnayasa menduga, tidak diperkenankannya menggunakan
sarana api kemungkinan karena dikhawatirkan bisa menyebabkan kebakaran. Apalagi
pelinggih beratapkan ijuk dan berada
di dalam hutan. Namun, secara filosofis, pantangan ini juga bisa dimaknai
sebagai pesan agar para pemedek yang tangkil bisa menahan hawa nafsu indria.
Selain
dupa dan kewangen juga tidak
diperkenankan menghaturkan segehan,
membuat penjor serta menyelenggarakan
tabuh rah. “Untuk perlengkapan
upacara berupa ceniga yang di tempat
lain di buat dari janur, di sini harus dibuat dengan daun pisang mas,” imbuh
mantan Sekda Tabanan ini.
Menjelang
berakhirnya piodalan (upacara
peringatan hari jadi pura) dilaksanakan ritual ngerebeg. Saat itu, Ida Batara tedun
di halaman jaba tengah, semua
perlengkapan piodalan dengan membaya
kayu, krama mengelilingi pelinggih sebanyak tiga kali. Mereka
berlari sembari berteriak-teriak. (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar