Tradisi
pembagian hak waris umumnya di Bali menganut sistem purusa. Artinya, hak waris umumnya jatuh ke tangan pihak laki-laki
selaku pemegang garis purusa.
Perempuan lazimnya tidak mendapat bagian hak waris, kecuali bertindak sebagai
pemegang garis purusa dalam keluarga.
Pola pembagian waris semacam ini didasari pertimbangan warisan dalam konsep
Bali bukan semata masalah hak, tetapi terkandung kewajiban. Orang Bali lazim
menyebutnya tetegenan (tanggung
jawab).
![]() |
Perempuan Tenganan Pagringsingan tetap mendapat bagian warisan |
Namun,
berbeda halnya dengan tradisi di Desa Adat Tenganan Pegringsingan, Kecamatan
Manggis, Kabupaten Karangasem. Desa kuno ini menganut sistem pewarisan parental
(suatu sistem kekerebatan dalam keluarga yg bersifat atau berhubungan dng orang
tua atau ayah-ibu sbg pusat kekuasaan). Baik anak laki-laki maupun perempuan
mendapatkan hak waris yang sama. Tak ada pembedaan.
Menurut
tokoh masyarakat Desa Adat Tenganan Pegringsingan, Jro Mangku Widia, warisan
diberikan dengan sistem pembagian yang adil. Warisan dibagi setelah dipotong
biaya upacara orangtuanya yang meninggal. Sementara rumah yang ditinggalkan
akan menjadi hak dari anak yang terkecil.
“Yang
diwarisi itu bukan saja harta benda. Kalau orangtuanya itu memiliki utang,
mereka juga harus menanggungnya,” kata Mangku Widia.
Sementra
jika camput atau satu keluarga tidak
dikaruniai keturunan, harta kekayaannya akan di-daut (diambil) oleh desa. Selanjutnya desa yang akan mengurus harta
kekayaannya. Kekayan yang berasal dari pihak laki-laki akan diberikan kepada
pihak laki-laki dan kekayaan yang berasal dari pihak perempuan akan diberikan
kepada pihak perempuan.
“Di
sini tidak mengenal istilah mengadopsi anak untuk menerima warisan,” imbuh Jro
Mangku Widia.
Namun
jangan salah, yang diwariskan hanyalah harta benda bergerak. Sementara tanah atau
tegalan, meskipun merupakan hak milik pribadi, tidak boleh sampai dijual atau
dihibahkan kepada orang luar desa. Awig-awig
(peraturan adat) Desa Adat Tenganan Pegringsingan sangat melarang warganya
menjual tanah kepada orang luar Desa Tenganan Pegringsingan.
Sanksi
bagi pelanggar terbilang sangat berat. Tanah yang dijual atau digadaikan itu
disita oleh desa. Selain itu, desa juga mendenda warga yang melanggar itu
sebanyak 2.000 uang kepeng.
“Karena
aturan yang ketat ini, tanah di Desa Adat Tenganan Pegringsingan ini terjaga
hingga kini. Kalau tidak, mungkin tanah-tanah di sini sudah habis. Apalagi desa
ini dekat dengan objek wisata Candi Dasa,” kata tokoh Desa Adat Tenganan
Pegringsingan, I Nyoman Nuja.
Namun,
tiap-tiap warga Tenganan Pegringsingan berhak untuk mendapatkan tanah kapling
untuk membangun rumah seluas 2,432 are. Tanah ini diberikan kepada pasangan
pengantin baru setelah tiga bulan dilksanakannya upacara pernikahan.
“Setelah
tiga bulan upacara, mereka memang harus hidup mandiri. Mendirikan rumah sendiri.
Desa memberikan hak tumapung yakni hak untuk menebang pohon untuk digunakan
membangun rumah tersebut,” kata Mangku Widia.
Namun,
hak waris bagi warga Tenganan Pegringsingan hilang begitu menikah dengan orang
dari luar desa. Bila orang yang menikah keluar itu perempuan, orang tersebut akan
dibuang dari desa dan tak diakui lagi sebagai krama (warga) adat. Namun, hubungan kekeluargaan masih tetap boleh
dilanjutkan. Sebaliknya, bila yang menikah dengan orang luar desa itu
laki-laki, asalkan istrinya dari golongan tertentu (Pasek, Pande, Bendesa,
Triwangsa dan warga Desa Ngis), masih bisa tinggal di desa. Namun, warga itu
tidak masuk Banjar Kauh dan Tengah yang merupakan banjar inti di Tenganan
Pagringsingan, tetapi di Banjar Kangin atau Banjar Pande. Hak-haknya pun tidak
sama dengan hak-hak warga Banjar Kauh dan Tengah. (b.)
Teks dan Foto: I Made Sujaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar