Teks: I Made Sujaya
Dicuplik dari buku Sepotong Nurani Kuta, 2004
SABTU, 12 Oktober 2013, kembali masyarakat
Bali mengenang tragedi kemanusiaan yang terjadi di tanah Kuta 11 tahun silam.
Para korban, keluarga korban serta masyarakat umum kembali berkumpul di Kuta
merenungi tragedi yang merenggut 202 nyawa itu. Apa yang sebetulnya terjadi
pada 12 Oktober 11 tahun silam?
Tak ada yang aneh. Tak ada
tanda-tanda akan adanya kejadian buruk. Sabtu malam, 12 Oktober 2002 itu, Kuta
masih hidup. Jalan Legian adalah sudut yang paling berdenyut. Bahkan, saat itu
kehidupan di kawasan ini tengah berada di puncaknya. Tamu sedang
ramai-ramainya, lalu lintas sedang macet-macetnya dan suhu udara sedang
panas-panasnya.
Di Sari Club (SC), udara terasa
jauh lebih panas. Betapa tidak, ruangan tempat hiburan malam ini tidak begitu
luas, sedangkan tamu yang mampir malam itu lebih dari 300 orang. Terang saja
mesti berdesak-desakan. Namun, karena tangan memegang botol minuman dan telinga
dimanjakan dentuman musik keras, semua itu tak sampai terasa. Sudah sejak pukul
19.00, SC penuh sesak dengan pengunjung. Mungkin ini satu-satunya keanehan itu.
Biasanya, SC baru mulai ramai sekitar pukul 21.00.
Agak menyeberang sedikit di pojok
tenggara, Paddy’s Cafe memang tidak seramai SC. Hanya beberapa tamu yang tampak
berkunjung menikmati menu minuman di tempat itu. “Tak lebih dari 20 orang,”
tutur Budiarta, seorang waiter
Paddy’s.
Agus Kartika Kusuma, seorang
karyawan SC yang kebetulan warga Kuta dari keturunan etnis Tionghoa sedang
menyerut es di belakang. Dia sempat membawa es hasil serutannya ke bar dalam.
Setalah itu, dia pun kembali ke belakang melanjutkan lagi tugasnya menyerut es.
Tak sampai lima menit dan “Blaaaar!”.
Lelaki yang saat itu baru berumur 22 tahun ini sempat tegang, diam mematung
selama beberapa menit. Setelah melihat teman-temannya berhamburan berlarian
barulah ia ikut lari. Dia sempat menyaksikan temannya sendiri yang bertugas
sebagai disc jockey (DJ) bermandikan darah meminta tolong. Agus tak tahu
harus berbuat apa. Dia panik, kalut. Satu-satunya yang terpikir olehnya, lari
menyelamatkan diri.
Awalnya ingin ia berlari ke
depan, tetapi melihat api besar dan balok sudah berjatuhan, dia pun lari ke
belakang. Agus naik ke lantai dua, ke tempat bosnya. Dia sempat memegang tembok
SC, tapi tembok itu keburu roboh. Dia pun melompat ke bawah, melewati rumah
kos, naik ke genteng atap rumah warga hingga akhirnya tembus di gang Poppies
II. Selamat! Agus berhasil sampai di rumahnya di Jalan Raya Kuta. Walaupun,
putra Putu Surya Gunawan ini sempat bongol (tuli), tak bisa mendengar
selama lima jam.
Ternyata Agus hanya mendengar
satu ledakan saja, ledakan paling keras yang terjadi di depan tempat kerjanya.
Ledakan pertama yang lebih kecil telah lebih dulu terjadi di Paddy’s. Moses,
seorang penghobi dugem (dunia gemerlap) –sebutan untuk aktivitas ke
tempat-tempat hiburan malam—mengingat betul ledakan pertama ini. Kebetulan dia
sedang berada di lantai dua Paddy’s. Saat ledakan pertama terjadi, lelaki yang
kerap mangkal di Pantai Kuta menjadi relawan penyelamat pantai ini sempat
tercenung. Sampai akhirnya terdengar ledakan superdahsyat di depan SC, dia
langsung melompat ke jalan kemudian lari menyelamatkan diri. Uniknya, dia masih
bisa menuntun sepeda motornya.
Begitu ledakan mahadahsyat
terjadi, suasana langsung kacau balau. Bumi terasa bergetar, dan langit
seolah-olah mau runtuh. Jalanan gelap gulita karena listrik seketika mati.
Orang-orang berlarian menyelamatkan dirinya. Beberapa di antaranya bertubrukan
satu sama lain. Teriakan-teriakan histeris minta tolong, jeritan tangis
kesakitan terdengar di mana-mana. Bercampur aduk. Semua orang panik. Tegang.
“Beberapa saat setelah ledakan
mahadahsyat terjadi, di angkasa tampak gumpalan asap hitam pekat membentuk
cendawan dengan bagian bawahnya merah menyala. Persis seperti ledakan nuklir di
tv-tv. Saya jadi terbayang dengan rekaman film dokumenter ketika kota Nagasaki
dan Hiroshima di Jepang dibom oleh Amerika,” tutur I Gusti Ngurah Tresna,
Kepala Satgas Pantai Kuta mengenang pengalamannya. Orang-orang merasakan
situasi saat itu seperti neraka yang kerap digambarkan dalam buku-buku agama.
Sangat menegangkan, memang, suasana Kuta saat
ledakan bom mengguncang daerah turis itu. Tak hanya karena dahsyatnya ledakan
atau pun banyaknya korban, tapi lantaran sempat muncul isu akan adanya ledakan
bom susulan. Karenanya, kurang dari 15 menit setelah bom meledak, kulkul
banjar di beberapa banjar langsung dipukul sebagai perintah agar warga siaga.
Begitu terjadi ledakan dahsyat yang disertai guncangan sangat
keras, seluruh warga keluar rumah. Berdasarkan informasi dari mulut ke mulut,
mereka pun tahu bahwa terjadi sesuatu yang dahsyat di Jalan Legian.
Selanjutnya, seperti lazimnya manusia yang memiliki rasa ingin tahu yang
demikian besar, mereka pun berhamburan menuju ke pusat kejadian.
Sementara itu, di rumah-rumah warga, di toko-toko yang berada di
seputaran lokasi kejadian, banyak kaca-kacanya pecah. Terlebih lagi yang berada
dekat dengan lokasi, atap gentengnya berterbangan. Hancur.
Tak hanya itu, rumah-rumah dan toko-toko itu juga mendapat “kiriman”
berupa potongan-potongan tubuh manusia. Ada yang berupa kepala manusia,
potongan tangan, potongan kaki bahkan ada yang kebagian usus atau pun daging
yang sudah hancur dan gosong. Sebagian lainnya juga menerima potongan besi atau
kayu yang hangus terbakas. Tampaknya ini karena saking kerasnya ledakan, yang
berakibat tubuh korban menjadi hancur. Serpihan tubuh itulah yang kemudian
berhamburan dan menghujani rumah dan bangunan milik warga di sekitar lokasi.
Ledakan bom di Jalan Legian memang sangat mematikan. I
Made Ardika, seorang warga Kuta yang bekerja di Toko VIT yang jaraknya sekitar
50 meter dari SC menuturkan dirinya sempat menyaksikan dengan kepala sendiri
orang yang mengendarai sepeda motor kepalanya putus dan langsung lepas ke udara
begitu ledakan terjadi. Dia sendiri sempat terjatuh sebelum kemudian bisa
melarikan diri setelah dibantu temannya. “Saya masih ingat, ada orang yang
mengendarai sepeda motor kepalanya putus dan kemudian diterbangkan ke udara.
Waktu itu, helm masih menempel di kepalanya,” tuturnya.
Mengerikan, memang. (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar