Teks dan Foto: I Made Sujaya
Dalam memaknai sejarah perjuangan menghadapi penjajah, baik pada masa kerajaan
maupun revolusi fisik, Bali tampaknya lebih cenderung memilih untuk mengenang
peristiwa-peristiwa yang nota bene
merupakan kekalahan bahkan tragedi tinimbang kemenangan. Karenanya, generasi Bali kini diwarisi dengan tradisi peringatan PuputanBadung 20 September 1906, Puputan Klungkung 28 April 1908 serta Puputan
Margarana 20 November 1946. Dalam perjalanan kemudian, peristiwa-peristiwa yang
sesungguhnya amat tragis itu terekam dalam benak masyarakat Bali sebagai
tonggak-tonggak perjuangan Bali . Oleh karena
itu, pantas untuk dikenang.
![]() |
Salah satu tarian Bali yang mencerminkan keperwiraan |
Padahal,
secara realitas, berbagai peristiwa itu lebih merupakan sebuah kekalahan total.
Para pemimpin dan sebagian rakyat tersungkur
di tengah berondongan peluru Belanda –sebagian lainnya karena ditikam rekannya
atau malah menikam dirinya sendiri—dan negara pun secara resmi jatuh ke tangan
penjajah. Puputan Klungkung misalnya justru menjadi tonggak jatuhnya kedaulatan
Bali secara penuh ke tangan Belanda.
Hanya
memang, secara moral peringatan mengenang semua peristiwa itu bukanlah
dimaksudkan untuk mengenang kekalahannya, melainkan semangat yang tertanam di
balik peristiwa tersebut. Puputan
merefleksikan sebuah pilihan sikap hidup yang jelas dan tegas: lebih baik mati
daripada menjilat kaki penjajah. Semangat inilah yang membuat
peristiwa-peristiwa kekalahan itu memiliki arti penting untuk dikenang.
Namun,
manakala sejarah Bali juga menghadirkan sejumlah peristiwa kemenangan, adakah
tidak begitu penting untuk dikenang? Jauh lebih kecilkah semangat tentang
pilihan hidup yang jelas untuk membela ibu pertiwi dan mempertahankan tiap
jengkal tanah tumpah darah, tidak tertanam dalam peristiwa-peristiwa kemenangan
tersebut?
Ada baiknya kita
menengok sekelumit sejarah di belahan utara dan timur Bali sekitar pertengahan
abad ke-19. Pada 9 Juni 1848, terjadi
pertempuran heroik di Jagaraga yang membuat harga diri Bali
sebagai sebuah daerah yang berdaulat, secara diam-diam diakui oleh Belanda.
Betapa tidak, empat batalyon pasukan Belanda dengan kekuatan 2.265 orang
perwira, bintara dan prajurit, 150 ekor kuda dengan perlengkapan persenjataan,
senapan, meriam, mortir dan perlengkapan lain ditambah lagi 500 orang pasukan
bantuan dari ketiga kesultanan Madura dan 500 orang buruh kuli berhasil dipukul
mundur laskar Bali yang dipimpin adipati Agung Gusti Ketut Jelantik yang hanya
bersenjatakan tombak. Lima
orang perwira Belanda, 94 orang bintara dan prajurit tewas serta 105 perwira
dan bintara luka-luka. Di pihak Bali sendiri
yang menjadi korban, tiga orang pedanda,
35 orang Brahmana, 163 orang
bangsawan dan pembekel serta 2000
pasukan.
Kemenangan pasukan Bali
di Jagaraga menjadi pembicaran di seluruh Hindia Belanda saat itu. Hal ini tak
pelak memukul citra dan martabat pemerintah Hindia Belanda. Karenanya, Gubernur
Jenderal Belanda kemudian menunjuk Mayjen AV Michiels memimpin lanjutan
ekspedisi ke Bali . Pertempuran Jagaraga pecah
lagi setahun kemudian tepatnya 15 April 1849 yang berakhir dengan jatuhnya
benteng Jagaraga keesokan harinya.
Pertempuran Jagaraga
ini diikuti dengan Perang Kusamba, 24-25 Mei 1849. Perang di bumi penuh ilalang
(kusa artinya ‘ilalang’) itu, Belanda
harus kehilangan seorang jenderal berprestasi cemerlang, Jenderal Michiels
akibat kecerdikan dan kecermatan strategi Dewa Agung Istri Kanya didampingi
mangkubumi Anak Agung Ketut Agung. Kendati beberapa bulan kemudian Kusamba
kembali jatuh ke tangan Belanda, toh kekalahan yang dialaminya membuat Belanda
menghitung ulang langkahnya untuk segera menaklukkan Bali .
Berikutnya, pada 20
September 1868, kemenangan juga kembali dialami Bali. Di bawah pimpinan Ida Made Rai, laskar rakyatBanjar berhasil memukul mundur pasukan Belanda. Perang itu pecah akibat
ketidakpuasan Ida Made Rai dan rakyat Banjar atas penunjukan punggawa Banjar oleh pemerintah Belanda.
Pertempuran di daerah Dencarik yang menyebabkan Letnan Stegmen dan 14 orang
serdadu Belanda gugur sempat membuat gusar Belanda karena teringat bayang-bayang
kekalahan di Jagaraga.
Namun, peristiwa
Jagaraga tahun 1848, Kusamba 1849 maupun Banjar 1868 tiada terkenang hingga
kini. Ketiga peristiwa bersejarah ini yang justru menunjukkan prestasi gemilang
karena tampak jelas kematangan strategi putra asli Bali
hanya menjadi cerita yang diingat segelintir orang khususnya kalangan pemerhati
sejarah. Masyarakat luas cenderung mengenal sejarah kekalahan sedangkan sejarah
kemenangan tiada sampai terkenang.
Manusia Bali kini
tampaknya memang perlu menampilkan perspektif berbeda dalam memandang
sejarahnya. Ketika di satu sisi bisa mengenang kekalahan dengan kebanggaan,
semestinya punya keberanian pula untuk memperingati kemenangan. Bukankah
tradisi Hindu dengan begitu bersahaja mengajarkan untuk memperingati kemenangan
dharma atas adharma seperti dalam hari raya Galungan? (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar