Puputan Badung 1906
Teks: I Made Sujaya, Foto: Repro www.kitlv.nl
![]() |
Jenazah Raja dan kerabat Puri Pemecutan serta para prajurit seusai perang Puputan Badung |
KECAMUK perang Puputan Badung 107 tahun silam yang hari ini diperingati, ternyata mengguratkan sepenggal cerita menarik tentang sisi kodrati seorang IGusti Ngurah Made Agung yakni kisah cintanya dengan putri Puri Pemecutan, Anak
Agung Ayu Oka. Kisah cinta dua sejoli ini disebut-sebut sejumlah sumber
berakhir dengan pelaksanaan tradisi masatya.
Anak Agung Ayu Oka melaksanakan kanya
satya, menjemput kematian sebagai bukti kesetiaannya bagi sang kekasih yang
juga Raja Badung.
Almarhum
I Gusti Ngurah Oka Suparta pernah membuat tulisan khusus mengenai pelaksanaan
tradisi masatya oleh Anak Agung Ayu
Oka ini. Ngurah Oka Suparta menyebut tindakan itu sebagai kanya satya, kesetiaan yang dilakukan saat belum menikah. Lazimnya,
masatya dilakukan oleh perempuan-perempuan yang menjadi istri raja saat jenazah
rajanya dibakar.
Ngurah
Oka Suparta agak jelas menyebut kanya
satya Anak Agung Ayu Oka dilakukan terhadap kekasihnya, I Gusti Ngurah Made
Agung yang telah mendahului gugur dalam perang di Puri Denpasar. Anak Agung Ayu
Oka diceritakan sedih setelah mendengar sang kekasih gugur dalam perang
tersebut.
Yang
menarik disimak adalah buku tipis berjudul Kabut
Cinta, Pelangi Asmara, Di Balik Asap Mesiu Perang Puputan Badung 1906 yang
disusun I Gusti Ngurah Gede Pemecutan, keturunan Pemecutan yang kini mengelola
Museum Lukisan Sidik Jari. Buku ini menampilkan cerita yang agak romantis.
Diceritakan
terjadi kisah cinta segi tiga yang melibatkan I Gusti Ngurah Made Agung dengan
Anak Agung Ketut Bima dalam memperebutkan Anak Agung Ayu Oka. Menurut Ngurah
Gede Pemecutan, Anak Agung Ayu Oka sebetulnya menaruh hati kepada Anak Agung
Ketut Bima. Namun, karena perintah sang ayah, I Gusti Ngurah Gede Pemecutan,
dia menerima dijodohkan dengan I Gusti Ngurah Made Agung.
Selanjutnya
diceritakan Ngurah Gede Pemecutan terjadi persaingan untuk memikat hati Anak
Agung Ayu Oka. Sampai akhirnya pecah perang Puputan Badung yang mendorong Anak
Agung Ayu Oka masatya.
Namun
Ngurah Gede Pemecutan menghadirkan kisah berbeda dengan sumber-sumber lainnya.
Jika Geguritan Bhuwana Winasa dan
Ngurah Oka Suparta menyebut Anak Agung Ayu Oka melaksanakan tradisi masatya di hadapan ayahandanya di Puri
Pemecutan sebelum perang di Pemecutan dimulai, Ngurah Gede Pemecutan menyebut
tradisi masatya itu dilaksanakan setelah Anak Agung Ayu Oka menyadari
ayahandanya gugur dalam perang termasuk I Gusti Ngurah Ketut Bima serta I Gusti
Ngurah Made Agung, kekasihnya atas perjodohan ayahandanya. Karenanya, apa yang
diungkapkan Ngurah Gede Pemecutan memberi gambaran bahwa Anak Agung Ayu Oka melakukan
kanya satya tidak saja untuk
kekasihnya, I Gusti Ngurah Made Agung, tetapi juga untuk ayahnya, I Gusti
Ngurah Gde Pemecutan dan I Gusti Ngurah Ketut Bima yang juga kekasihnya sebelum
dijodohkan dengan I Gusti Ngurah Made Agung.
Mana
yang benar tentu membutuhkan penelitian lebih lanjut. Akan tetapi, penggalan
kisah ini memberi gambaran meskipun Raja-raja Badung sepakat dengan Belanda
menghapuskan tradisi masatya, toh
kenyataannya tradisi itu tetap dilaksanakan. Puputan sendiri merupakan wujud
pelaksanaan tradisi masatya keluarga,
kerabat dan pengiring terhadap
rajanya. (b.)
KOMENTAR