Teks dan Foto: I Made Sujaya
Di
tengah keprihatinan dan kecemasan tentang kian menyusutnya luasan hutan di
Bali, sejumlah desa di Pulau Dewata mampu mempertahankan hutan desanya sejak
berabad-abad silam hingga kini. Menariknya, hutan-hutan itu terjaga oleh
warisan tradisi lokal masyarakatnya yang bagi banyak orang dianggap sebagai
mitos. Hari ini, Sabtu, 28 September 2013 bertepatan dengan hari Tumpek Wariga yang
kerap juga dimaknai sebagai Hari Bumi ala Bali, warga di desa-desa itu biasanya
menggelar upacara khusus di hutan-hutan desa itu sebagai bentuk ungkapan syukur
atas karunia Tuhan dalam manifestasi Hyang Sangkara sebagai pemberi daya hidup bagi segala tumbuh-tumbuhan.
1. Alas Kedaton, Desa
Kukuh, Tabanan
AlasKedaton merupakan sebuah hutan dengan luasan sekitar 6,5 hektar yang terletak
di Desa Kukuh, Kecamatan Marga, Tabanan. Pepohonan yang tumbuh di hutan ini
sangatlah beragam. Ada
sekitar 32 jenis pohon. Di hutan ini juga hidup kera yang populasinya diperkirakan
mencapai 1.800 ekor.
![]() |
Alas Kedaton |
Kawasan
Alas Kedaton bisa terjaga kelestariannya hingga sekarang tidak terlepas dari
tradisi yang dijaga ketat warga setempat yakni berpantang menebang pohon atau
pun mengganggu kera di kawasan hutan. Pantangan ini, memang tidak tersurat
dalam awig-awig (aturan desa). Namun,
warga setempat sangat menaatinya.
Namun,
penebangan pohon di kawasan Alas Kedaton dibolehkan tetapi hanya untuk
kepentingan pembangunan di Pura Dalem Kayangan Kedaton yang berada di dalam kawasan
hutan. “Misalnya, untuk memperbaiki bangunan pelinggih (bangunan suci) yang rusak,” kata tokoh Desa Kukuh, IGM
Purnayasa.
Meski
begitu, sebelum menebang pohon, seperti biasa tentu mesti matur piuning (menggelar upacara permohonan izin) ke hadapan Ida
Batara di Pura Dalem Kayangan Kedaton. Ini semacam permohonan izin sekaligus
minta restu agar penebangan pohon berjalan sukses dan tujuan pemanfaatan kayu
yang ditebang bisa tercapai.
Hingga
kini belum pernah ada warga Kukuh atau pun warga dari luar desa yang melanggar
pantangan menebang pohon di Alas Kedaton. Tidak ada yang berani mencoba-coba
karena yakin hukuman niskala menimpa jika berani melanggar.
2. Alas Pala, Sangeh,
Badung
AlasPala yang terletak di Desa Sangeh, Kecamatan Abiansemal, Badung memiliki
kemiripan dengan Alas Kedaton. Hutan desa ini juga dihuni ribuan kera. Keasrian
plus kelestarian Alas Pala merupakan buah dari mitos atau keyakinan yang
berabad-abad dipegang teguh masyarakat Desa Sangeh. Warga desa ini tiada berani
mengganggu keutuhan ekosistem Alas Pala. Pantang bagi mereka untuk menebang
kayu dari pepohonan yang ada di kawasan hutan itu. “Kalau ada yang berani
menebang pepohonan di Alas Pala apalagi pohon pala, dia pasti tidak akan
selamat,” tutur Bendesa Adat Sangeh, Drs. IB Dipayana.
![]() |
Sangeh |
Seperti
halnya di Alas Kedaton, boleh-boleh saja bila ada warga yang ingin meminta kayu
pohon pala. Misalnya, kayu yang disebut-sebut jenis nomor dua terbaik itu bakal
digunakan untuk pembangunan kahyangan (tempat suci) seperti merajan,
sanggah (tempat suci di rumah) atau pura. Memang, kata Dipayana, untuk
keperluan yang berkaitan dengan hal-hal yang suci, dibolehkan. Namun, warga tak
serta merta boleh menebang pohon pala di Alas Pala. Mesti ditunggu dulu adanya
batang pohon pala yang tumbang dengan sendirinya setelah matur pakeling
(mohon izin lewat jalan menghaturkan banten atau sesaji) di Pura Bukit
Sari yang berada di dalam hutan.
“Biasanya
berselang tiga hari setelah matur pakeling di Pura Bukit Sari, ada saja
pohon pala yang tumbang. Pohon yang tumbang itulah yang diberikan kepada si
pemohon, bukan menebang yang masih kokoh berdiri,” kata Dipayana.
Tak
cuma pantangan ini kearifan yang ditunjukkan warga Sangeh. Sejak lama pula
warga desa ini terbudaya menjaga kebersihan Alas Pala secara bergiliran, rapi
dan teratur. Setiap bulan, masing-masing banjar di Desa Adat Sangeh
berkewajiban ngayah nyapuh (membersihkan) areal Alas Pala. Ini dilakukan
pagi-pagi buta mulai pukul 05.00.
3. Wenara Wana, Ubud, Gianyar
Sama
halnya dengan Alas Pala di Sangeh, Wenara Wana di Desa Adat Padangtegal, Ubud,
Gianyar juga terjaga keasriannya oleh mitos yang diwarisi warga Padangtegal
secara turun-temurun. Di hutan ini, pohon-pohon yang ada juga tiada bisa
ditebang sembarangan. Malah, pantangannya jauh lebih berat lagi. Di sini,
memetik dedaunan saja pantang. Apalagi menebang pohon.
![]() |
Wenara Wana |
Tak cuma itu, berkata-kata kasar di kawasan hutan sangat
dilarang. Orang yang masuk ke areal Wenara Wana mesti benar-benar menjaga
sikap. Kesucian dan kebeningan hati menjadi persyaratan utama jika hendak masuk
ke hutan ini dan selamat.
Di
awig-awig desa pun, hal ini tak tercantum. Namun, warga Padangtegal
begitu menaatinya, tiada berani melanggar. Tak cuma warga Padangtegal, warga
dari luar desa pun begitu manut dengan segala pantangan itu. Padahal, warga
Padangtegal sendiri tidak pernah menyiarkan pantangan-pantangan itu.
Bila
pun hendak menebang pohon, wajib matur pakeling (meminta izin) terlebih
dahulu di Pura Dalem Agung Padangtegal yang berada di bagian barat daya pura.
Dan kayu dari pohon yang ditebang hanya boleh untuk keperluan membangun tenpat-tempat
suci, bukan untuk rumah atau pun bangunan-bangunan profan lainnya. (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar