Teks dan Foto: I Made Sujaya
Siapa saja
yang pertama kali datang ke Penglipuran –sebuah desa wisata di Kabupaten
Bangli, Bali-- pasti akan menyebut bentuk pemukiman yang teratur dengan angkul-angkul (pintu gerbang) yang
seragam sebagai hal yang paling menarik. Bentuk angkul-angkul di Penglipuran cukup khas, memang. Tingginya sekitar
3,5 meter, celah masuk Cuma satu meter, berwarna tanah dan beratap bambu.
![]() |
Suasana Desa Penglipuran dengan angkul-angkul seragam berjejer |
Ada
76 angkul-angkul yang berasal dari 76 pekarangan rumah yang berjajar rapi dari
ujung utara hingga selatan desa. Angka 76 ini menunjukkan 76 keluarga utama
atau krama pangarep. Angkul-angkul itu berdiri
berhadap-hadapan di depan jalan yang lebarnya hanya tiga meter.
Keseragaman
ini sesungguhnya baru terjadi tahun 1992 lalu. Kala itu, Bupati Bangli, IB
Ladip berobsesi untuk “menyulap” Penglipuran menjadi desa wisata yang khas
seperti halnya Karangasem memiliki Tenganan.
Untuk
mewujudkan obsesi itu, mula pertama wajah Penglipuran mesti diubah. Namun,
perubahan itu haruslah tetap mencerminkan kekhasan desa tradisional ini.
Setelah menelisik beberapa waktu, dilihatlah angkul-angkul sebagai hal yang bisa ditonjolkan sebagai ciri khas.
Memang, kala itu masih ada angkul-angkul
dari sejumlah rumah di Penglipuran yang berbau tradisional dan unik.
Menurut
Bendesa Adat Penglipuran, I Wayan Supat, dulu angkul-angkul di Penglipuran memang beratap bambu. Hanya yang
membedakan penyangganya. Jika si pemilik rumah orang kaya, penyangganya bisa
berbahan batu paras. Akan tetapi jika pemilik rumahnya tidak punya,
penyangganya hanya terbuat dari batu polpolan.
Model
angkul-angkul inilah yang kemudian
dibuat seragam untuk seluruh rumah-rumah di Penglipuran. Keputusan yang
diambil, angkul-angkul itu akan
dibuat bersama dengan biaya dipikul secara bersama-sama pula.
Setelah
dihitung-hitung, warga Penglipuran mesti membuat 76 buah angkul-angkul sesuai jumlah
krama pengarep di desa ini. Tentu membuat angkul-angkul itu tidak akan menjadi masalah jika waktunya memang
cukup. Akan tetapi, warga desa hanya diberikan waktu sekitar dua minggu. Waktu
yang pendek ini disebut-sebut karena Presiden Soeharto akan datang mengunjungi
desa ini.
Untuk
mengatasi masalah ini, diputuskan untuk meminta bantuan kepada desa-desa
tetangga. Maka, warga Penglipuran bergotong-royong dengan penduduk desa-desa
sekitarnya untuk menuntaskan angkul-angkul
seragam itu. Kerja keras dan kerja sama itu pun membuahkan hasil. 76 angkul-angkul selesai pada waktu yang
ditentukan.
Setelah
angkul-angkul selesai, ternyata
Presiden Soeharto tidak jadi datang. Namun, Supat menduga informasi soal kedatangan
presiden itu sengaja diembuskan bupati semata-mata untuk memotivasi warga agar
bersemangat mengerjakan angkul-angkul
khas itu.
“Sasaran
akhirnya tetap ingin membuat ciri khas di Penglipuran. Ya, mungkin begitulah
cara pemerintah memotivasi semangat warga. Kalau tidak seperti itu mungkin agak
sulit mendorong warga,” ujar Supat.
Namun,
bagi warga Penglipuran jadi atau tidaknya Presiden Soeharto mengunjungi
desanya, yang paling penting desa mereka telah berubah dengan ciri khas yang tidak
dimiliki desa-desa lainnya. Angkul-angkul
yang menjadi warisan leluhur mereka bisa terselamatkan kembali.
“Keseragaman
angkul-angkul saat ini sesungguhnya
sebatas menggali kembali apa yang sudah ada dulu,” imbuh Supat.
Dan,
angkul-angkul seragam itu kini
menjadi ikon Penglipuran. Ketika menyebut desa ini, orang langsung teringat
dengan angkul-angkul seragam. Orang
pun banyak yang datang ke desa ini hanya ingin menyaksikan jajaran rumah yang
tertata rapi dengan angkul-angkul
seragam. Itulah mungkin berkah bagi warga Penglipuran yang disyukuri hingga
kini. (b.)
Jadi pingin buat untuk www.jatiluwih.org sebagai ciri khas nya. Ada masukan teman-teman online ?
BalasHapus