Teks dan Foto: I Made Sujaya
Bertepatan dengan hari TumpekLandep yang jatuh pada Saniscara Kliwon wuku Landep, Sabtu, 24 Agustus 2013
hari ini, sebuah pura di ujung selatan Pulau Bali kerap didatangi umat. Pura
Karang Boma, begitu pura ini diberi nama, didatangi umat yang hendak nunas taksu.
![]() |
Pura Karang Boma di Banjar Sawangan, Kuta Selatan |
Masyarakat di Sawangan dan
sekitarnya kerap menyebut pura ini dengan nama Pura Barong-barongan. Padahal,
nama “resmi” pura yang secara administratif berada di wilayah Desa Adat
Peminge, Kelurahan Benoa, Kuta Selatan, Badung ini adalah Pura Dalem Karang
Boma. Nama Barong-barongan jauh lebih tenar dibandingkan Karang Boma. Nama
Barong-barongan itu diberikan oleh para nelayan yang sering melintas di lautan
depan Pura Karang Boma.
Para nelayan itu, konon sering
kebingungan, tak tahu arah. Karena tak tahu arah, akhirnya para nelayan itu
berdoa di atas perahunya. Selang beberapa saat kemudian, mereka melihat bukit
tempat berdirinya Pura Karang Boma seperti barong yang sedang menari.
Terlepas dari cerita tentang
nelayan itu, senyatanya Pura Karang Boma memang menjadi tempat pesucian (sakralisasi) dan masolah (menari) sejumlah pelawatan barong yang ada di Denpasar
dan Badung. Ada tujuh pelawatan barong
yang selalu lunga ke Pura Karang Boma
saat piodalan saban Tumpek Landep yakni
pelawatan barong Banjar Lantang Bejuh, Seseten, pelawatan barong dari Desa Sidakarya, Pedungan, Bualu, Pagan,
Kelandis, Suci, dan Sawangan sendiri. Pelawatan-pelawatan
dari tujuh banjar atau desa itu memang nunas
pasupati di pura ini.
Kayu bahan baku membuat pelawatan
barong di tujuh daerah itu diambil dari pohon Taru Ben Taro yang tumbuh di
bawah tebing Pura Karang Boma. Tepat di bawah tebing terdapat kolam alami yang
juga biasa dijadikan tempat untuk masuci
(ngerehang) saat dilakukan rehab pelawatan atau memperbaiki prerai pelawatan.
Fungsi sebagai nunas pasupati ini memang berkaitan erat
dengan sejarah pura ini. Kendati belum benderang benar, menurut cerita lisan
yang berkembang di masyarakat setempat, awalnya daerah yang kini bernama
Sawangan itu bernama Kedok Lang Dukuh. Kala itulah, Ida Ratu Manik Maketel dari
Dalem Ped Nusa Penida beryoga di bawah pohon Taru Mas yang kini berada di bawah
tebing. Selang beberapa lama datanglah Ida Ratu Ayu Manik Mataum dari Pasar
Agung, Besakih. Kedua bersaudara ini kemudian membangun parahyangan (tempat suci).
Sampai suatu ketika datanglah mahakawi-wiku suci Danghyang Nirartha. Dalam
perjalanan dari Tanjung Benoa serta Geger, sang rsi suci itu kemudian melihat
sebongkah batu bersinar menyerupai api. Batu itu pun didekati dan diberi nama
Karang Geni. Dari nama Karang Geni ini kemudian berubah menjadi Karang Boma.
Geni merupakan kekuatan dari Boma.
Di tempat ini, purohita (pendeta) Kerajaan Gelgel itu
kemudian beryoga hingga memperoleh anugerah pasupati
dari Batara Siwa. Anugerah ini kemudian diberikan kepada Ida Ratu Manik Maketel
dan Ida Ratu Manik Mataum. Karena tempat ini memiliki arti penting kemudian
dibangun parahyangan dengan nama Pura Karang Boma.
Struktur Pura Karang Boma sungguh
menarik. Bagian jeroan atau utama mandala berada di posisi paling rendah, sedangkan jaba tengah berada pada posisi lebih tinggi
dan jaba sisi di posisi paling
tinggi. Struktur ini tampaknya berkaitan erat dengan posisi lahan yang memang
berupa tebing curam.
Di utama mandala pura terdapat sedikitnya tujuh pelinggih (bangunan suci). Pelinggih
utama berupa gedong pajenengan Ida
Ratu Manik Mataum sebagai stana Hyang Pasupati. Berikutnya ada gedong saka anda sebagai linggih Ida Ratu Ayu Manik Maketel. Ada
juga gedong pengasti Taman Sari, taksu agung, pelinggih Ratu Ayu Sri Suka Sedana, meru tumpang satu linggih Sedahan Lamak serta tugu apit lawang linggih Ida Gede Ngurah Pengenter.
Yang unik, pujawali di Pura Karang Boma tidak diikuti dengan nyejer. Pujawali mesti dilaksanakan sehari saja, mulai pukul 13.00 hingga
sekitar pukul 03.00. Setelah itu Ida Batara langsung masineb. Kecuali bila ada karya
(upacara) tertentu. (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar