Teks dan Foto: I Made Sujaya
Sabtu, 10 Agustus 2013 hari ini, umat Hindu kembali merayakan hari suci Saraswati. Hari yang dimaknai sebagai saat turunnya ilmu pengetahuan itu biasanya dirayakan dengan menghaturkan sesaji ke hadapan Sang Hyang Aji Saraswati pada pagi hari. Para tetua mengingatkan agar persembahyangan Saraswati tidak melewati siang hari. Mengapa?
Sabtu, 10 Agustus 2013 hari ini, umat Hindu kembali merayakan hari suci Saraswati. Hari yang dimaknai sebagai saat turunnya ilmu pengetahuan itu biasanya dirayakan dengan menghaturkan sesaji ke hadapan Sang Hyang Aji Saraswati pada pagi hari. Para tetua mengingatkan agar persembahyangan Saraswati tidak melewati siang hari. Mengapa?
Persembahyangan Saraswati pada
pagi hari sejatinya didasari pertimbangan pagi hari sebagai satwika kala atau hari yang paling baik.
Dalam Hindu, waktu, dibagi menjadi tiga yakni satwika kala (pagi hari), rajasika
kala (siang hingga sore hari) dan tamasika
kala (malam hari).
Hari raya Saraswati merupakan
hari anugerah. Menurut Bhagawad Gita, saat yang paling baik untuk menerima
anugerah yakni pada pagi hari.
Selain itu, secara psikologis,
pagi hari memang menjadi saat yang sangat bagus untuk menghaturkan sembah.
Pasalnya, di pagi hari suasana masih hening, lahir batin pun masih bening.
Keheningan dan kebeningan hati merupakan jembatan emas untuk menghadap Yang
Kuasa. Pikiran menjadi lebih mantap dan bercahaya.
Sampai di sini, dapat dimaklumi
mengapa kemudian para sulinggih, orang-orang suci memilih waktu pagi hari untuk
memuja kebesaran Hyang Widhi lewat ritual nyurwa sewana. Kehadiran sinar
pertama sang surya membuat pintu hati dan mata batin terbuka. Keterbukaan pintu
hati dan mata batin menjadikan relasi personal Sang Diri dengan Sang Muasal
kian lekat, makin dekat.
Dari segi kesehatan, pagi hari
pun dipandang sangat baik bagi tubuh. Sinar mentari pagi mengandung vitamin D
yang bermanfaat bagi penguatan tubuh.
Manakala sore hari, umumnya orang
sudah mulai agak lesu, tiada cerah lagi. Apalagi jika sejak pagi tadi terhimpit
beban pekerjaan yang berat. Dalam keadaan seperti itu, tentu saja terasa kurang
mantap menghaturkan sembah, menghadap Hyang Tunggal.
Karena itu pula, manusia Bali
kerap memilih waktu setelah matahari condong ke barat (seng kauh) untuk melaksanakan upacara pitra yadnya seperti ngaben,
mengubur jenazah atau pun bhuta yadnya seperti
mecaru. Berbeda dengan upacara
mamukur atau nyekah yang dilaksanakan pada permulaan hari.
Meski begitu, penilaian bahwa
pagi hari sebagai waktu yang paling baik tidak lantas berarti umat tidak perlu
bersembahyang saat siang dan sore atau malam hari. Umat tetap dianjurkan untuk
menandai peralihan hari itu dengan memuja Tuhan. Karenanya, Hindu menganjurkan
agar bersembahyang tiga kali sehari. (*)
likeee
BalasHapuskoq gk bisa di copy sieh..???
BalasHapusTerima kasih atas kunjungannya, Mbok Luh. Mohon maaf, balisaja.com memang sengaja mematikan fungsi klik kanan untuk mencegah terjadinya plagiarisme. Tapi, jika Mbok Luh ingin mendapatkan artikel-artikel di balisaja.com, silahkan dikirim permohonan ke e-mail kami: balisaja@rocketmail.com. Kami akan kirimkan artikel tersebut ke e-mail Mbok Luh. Suksma. Selalu kunjungi balisaja.com dan jika Mbok Luh senang, silahkan rekomendasikan blog ini kepada teman-teman Mbok Luh. Rahajeng!
HapusPengelola balisaja.com