Renungan Hari Buda Wage
Ukir
Teks dan Foto: I Made Sujaya
Bagi orang
Bali, gunung adalah hulu, adalah kepala. Dari gunung mengalir kesejahteraan.
Itu sebabnya, orang Bali sangat memuliakan gunung. Hari raya Buda Wage Ukir yang
dirayakan pada Rabu, 28 Agustus 2013 hari ini merupakan refleksi penghormatan
Bali terhadap gunung.
Tapi, orang kini
kerap berpersepsi negatif terhadap kata gunung. Gunung identik dengan udik.
Orang gunung adalah orang udik. Orang gunung dicitrakan dekat dengan
kemiskinan, kebodohan dan kemelaratan. Sebaliknya, kota identik dengan
modernisme. Orang kota adalah orang modern. Orang kota dicitrakan dekat dengan
orang kaya, pintar dan gemerlap kemewahan.
Tapi, secara
filosofis gunung bagi orang Bali adalah hulu, kepala. Gunung adalah orientasi
spiritual dan kultural orang Bali. Ini tercermin jelas dalam mitologi Bali.
Pulau mungil ini disebut awalnya dalam keadaan labil. Kala itu, di Bali baru
ada empat gunung: Gunung Lempuyang di timur, di selatan Gunung Andakasa, di barat Gunung Batukaru dan di
utara Gunung Beratan. Untuk menstabilkan Bali, Batara Hyang Pasupati memotong
puncak Gunung Semeru di Jawa Timur. Potongan gunung itu ditancapkan di Bali.
Bagian gunung yang lebih besar menjadi Gunung Agung, sedangkan bagian yang
kecil menjadi Gunung Lebah (Gunung Batur). Sejak saat itu terdapat enam buah
gunung di Bali yang dikenal sebagai sad pralingga dan Bali pun stabil.
Kisah
mitologis ini memang sangat simbolis, terutama dikaitkan dengan masuknya ajaran
agama Hindu ke Bali. Tapi, penyebutan gunung sebagai aspek penting dalam
mitologi ini menunjukkan orientasi spiritual dan sosiokultural orang Bali.
Gunung menjadi hulu, asal muasal sekaligus sumber kesejahteraan.
Gunung juga
menjadi sumber kekuasaan, sumber kegemilangan, seperti tersaji dalam mitologi
kuasa raja-raja Bali. Raja Mengwi, I Gusti Agung Putu memperoleh anugerah
kekuasaan, wibawa dan kegemilangan dari Batara di Gunung Mangu. Itu sebabnya,
keturunan Raja Mengwi tidak pernah mengabaikan Gunung Mangu dengan Pura Pucak
Mangunya.
Pemuliaan
gunung juga tercermin dalam arsitektur pura di Bali. Bangunan suci meru diyakini sebagai simbol gunung.
Begitu juga pada tataran ritual, simbol gunung terlihat pada penggunaan tumpeng dalam banten.
Karena itu,
bisa dimaklumi jika Ukir dijadikan salah satu wuku dalam sistem pawukon
di Bali. Manusia Bali juga menandai wuku
ini dengan sebuah perayaan: Buda Wage Ukir atau Buda Cemeng Ukir.
Di masa lalu,
gunung memang senyatanya sumber kesejahteraan. Segala kebutuhan hidup manusia
Bali datang dan mengalir dari gunung. Kawasan gunung dipersepsikan sebagai
lahan yang subur yang berarti sumber kesejahteraan.
Tapi kini
aliran kesejahteraan Bali tidak lagi dari gunung, tapi dari kaki. Pusat
kegiatan ekonomi orang Bali terjadi di Bali Selatan, khususnya Badung dan
Denpasar. Ke sinilah orang-orang datang mengarus, menangguk rezeki Bali. Kuta,
Nusa Dua dan Sanur kini menjadi "puting susu" yang tiada henti diperah.
Karena
terbuai dengan gelimang dolar yang mengalir dari kaki, orang Bali abai dengan
gunung. Pengabaian itu tidak saja tampak dari mengarusnya orang-orang Bali di
gunung menuju Bali Selatan, tetapi kawasan gunung memang semakin tak terurus.
Parahnya lagi, sikap abai itu juga menghinggapi pemerintah.
Padahal, orang
Bali mengenal konsepsi segara giri, pasir ukir: keseimbangan antara laut dan
gunung karena keduanya adalah sumber kesejahteraan. Manusia Bali mengenal ritus
menuju gunung saban Sasih Kadasa dan ritus menuju laut saban sasih Kasanga.
Dalam konsepsi Bali, pertemuan antara gunung dan laut adalah sumber
kesejahteraan. Karena itu, manusia Bali diingatkan untuk senantiasa menjaga
gunung dan laut.
Menjaga
gunung dan laut hakikatnya merawat alam. Merawat alam menjadi bagian dari
yadnya. Setelah menggapai rahmat ilmu pengetahuan di hari Saraswati, disusul
karunia pangan, sandang dan kemuliaan melimpah di hari Soma Ribek dan Sabuh Mas, disambung dengan anugerah keteguhan batin di hari Pagerwesi serta
ketajaman pikiran dan nurani di hari Tumpek Landep, manusia Bali diajak untuk
memuliakan gunung, memuliakan alam. Karena merawat gunung, merawat alam sama
artinya dengan merawat diri sendiri. (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar