Renungan Perayaan
Tumpek Landep di Bali
Teks dan Foto: I Made Sujaya
Bali sedang
menikmati kemakmuran, memang. Bukti kemakmuran orang Bali itu bisa diamati
dalam laku beragama mereka satu dasa warsa terakhir. Pura orang Bali kini
tampak megah-megah. Upacara berskala besar dengan biaya ratusan juta dan
milyaran rupiah pun begitu kerap digelar sepuluh tahun terakhir. Banyak orang
Bali juga gemar matirtha yatra,
bersembahyang ke berbagai pura di Bali, bahkan di luar Bali hingga Mancanegara.
Ketika bersembahyang ke pura, orang Bali kini sangat modis dengan pakaian model
terbaru, mahal dan tak jarang produk impor. Sampai-sampai dupa yang digunakan
untuk bersembahyang pun tak lagi kelas murahan, tetapi produk impor dari India.
Kemakmuran orang Bali terlihat nyata saat perayaan hari TumpekLandep, Sabtu, 24 Agustus 2013. Dulu, hari Tumpek Landep dimaknai sebagai hari
suci untuk mengupacarai berbagai jenis senjata tajam. Biasanya, yang diupacarai
saat Tumpek Landep berupa keris pusaka dan segala perlengkapan bertani yang
terbuat dari besi.
Kini, yang diupacarai saat Tumpek Landep bukan lagi keris
atau perlengkapan bertani yang terbuat dari besi, tetapi juga sepeda motor dan
mobil. Maka, saat Tumpek Landep tiba, orang Bali yang memiliki kendaraan bermotor
akan menjejerkan kendaraannya di depan rumah untuk diupacarai. Para pemangku
pun laris manis kebagian pesanan untuk nganteb.
Tak jarang seorang pemangku mulai
berangkat sejak pagi lantaran saking banyaknya pesanan.
Merayakan Tumpek Landep dengan tradisi mengupacarai
kendaraan bermotor pun menjadi tampak meriah di Bali karena kepemilikan
kendaraan bermotor di Bali cukup tinggi. Hampir setiap keluarga di Bali pasti
memiliki sepeda motor, bahkan satu keluarga memiliki lebih dari dua sepeda
motor. Yang kemampuan ekonominya baik melengkapi teras rumahnya dengan mobil.
Tak tanggung-tanggung, mobil yang dimiliki tergolong merk terbaru. Cobalah
diamati di jalanan-jalanan utama Bali, mobil merk apa pun dan yang paling gres
ada.
Bali memang menjadi pasar sepeda motor dan mobil potensial
di Indonesia. Itu sebabnya, sejumlah produsen mobil di Indonesia sudah mulai
memilih Bali sebagai tempat peluncuran produk terbaru. Sepeda motor? Jangan
dibilang lagi, Bali termasuk paling doyan. Kabar yang berembus dari distributor
sepeda motor di Bali, berapa unit pun sepeda motor yang didatangkan ke Bali,
cenderung habis terjual. Terlebih lagi transportasi publik di Bali tidak
berkembang sehingga orang Bali lebih suka beraktivitas dengan sepeda motor.
Orang Bali juga tidak begitu sulit memiliki kendaraan
bermotor. Hanya dengan memiliki uang Rp 500.000 sudah bisa membawa pulang satu
unit sepeda motor terbaru, dan cuma dengan Rp 5.000.000 sudah bisa memiliki
sebuah mobil terbaru.
Lambat laun, tanpa disadari, orang Bali hidup dalam
persaingan gaya hidup yang tinggi. Dalam kta sederhana, terjadi adu gengsi di
antara orang Bali. Adu gengsi itu pun berimbas pada perayaan Tumpek Landep,
saat sepeda-sepeda motor dan mobil-mobil itu diupacarai.
Adu gengsi ini juga diamati pendharma wacana serta penulis buku-buku agama Hindu, Drs. I Ketut Wiana, M.Ag. Orang Bali kini menjadi sangat konsumtif. Kendaraan bermotor yang
sesungguhnya hanya alat untuk mencapai tujuan, tanpa disadari kini telah
dijadikan tujuan.
“Semestinya yang diutamakan kan fungsi dari alat itu, bukan
adu gengsi. Prinsip hidup sederhana hanya menjadi jargon karena perilaku
keseharian orang Bali justru konsumtif,” kata Wiana.
Perilaku konsumtif ini memang dipicu banyak sebab. Tapi,
contoh buruk dari pejabat menjadi salah satu faktor penting. Seolah menjadi
lumrah, pejabat mesti bergaya hidup mewah: membawa mobil baru, rumah mewah, dan
gaya hidup borjuis. Nurani menjadi tumpul dan empati sulit didapat.
Tumpek Landep, kata Wiana, sejatinya bukanlah hari untuk
mengupacarai segala jenis senjata dan kendaraan, tetapi sebagai momentum untuk
berintrospeksi untuk mengusut-usut diri, sejauh mana memiliki ketajaman pikiran
dan ketajaman nurani. Ketajaman pikiran ditunjukkan dengan kemampuan untuk
mencari solusi atas masalah yang dihadapi, ketajaman nurani ditunjukkan melalui
empati dan kepedulian kepada keadaan orang lain.
Ironisnya, justru pada perayaan Tumpek Landep, ketajaman
pikiran dan ketajaman nurani itu terasa hilang. Orang Bali kehilangan ketajaman
pikiran karena semakin konsumtif yang berarti kian kehilangan daya kreativitas,
sedangkan ketajaman nurani semakin menyusut karena ambisi dan gengsi terus
menguasai diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar