Polemik reklamasi Teluk Benoa membentangkan dugaan klasik
terjadinya "perselingkuhan" antara penguasa dan pengusaha. Banyak pihak yakin
keluarnya izin reklamasi karena adanya kesepakatan-kesepakatan tertentu di
antara pemegang kebijakan dan pengusaha pemilik modal. Terlebih lagi saat
awal-awal kasus ini terbongkar, pihak-pihak yang memiliki kaitan dengan proyek
itu berlomba-lomba mengatakan tidak tahu. Sejurus kemudian terungkap izin
proyek sudah keluar.
Jika diperiksa data-data sejarah
Bali masa lalu, "perselingkuhan" antara pengusaha dan penguasa senantiasa hadir.
Sejarah Bali mencatat seorang pedagang berkebangsaan Denmark,
Mads Johansen Lange yang menjalin hubungan erat dengan hampir seluruh raja-raja
di Bali.
![]() |
Mads Johansen Lange |
Awalnya, Lange mengembangkan
usaha dagangnya di Lombok bersama rekannya seorang Inggris kelahiran Denmark
juga, John Burd. Pada perkembangan selanjutnya, Lange menetap di Tanjung
Karang, sebuah pelabuhan di sebelah selatan Ampenan, sedangkan John Burd menetap
di Canton (Cina) atau Hongkong.
Dalam pengembangan usahanya di Lombok, Lange menjadi saingan berat George Peacock King,
seorang pedagang Inggris. Karena ambisinya yang besar untuk memonopoli
perdagangan di Ampenan, King diusir dari Lombok dan menetap di Kuta (Bali). Beberapa bulan kemudian King kembali lagi ke Lombok dan menempatkan dirinya di bawah perlidnungan di
bawah Raja Mataram-Lombok. Sementara Lange mendapat perlindungan dari Raja
Karangasem-Lombok. Persaingan kedua pedagang ini sampai berbuah peperangan di
antara kedua kerajaan. Peperangan ini berakibat kalahnya Raja
Karangasem-Lombok. Mads Lange kemudian diusir dari Lombok.
Karena diusir dari Lombok, Lange dengan kapal dagang kecilnya, Venus,
mendarat di Kuta. Di daerah inilah dia kemudian mengembangkan kembali usahanya.
Dia harus melunasi hutang-hutang luar negerinya yang begitu besar.
Namun, karena begitu tekun dan
pintar bergaul dengan orang lokal, terutama dengan raja-raja di Bali, dia berhasil dalam jangka waktu yang agak pendek
untuk menyusun kembali perdagangannya. Usaha dagangnya malah menjadi saingan
berat dari kantor dagang Belanda di Kuta, De Nederlandsche Handelsmaatschappij.
Tak cuma itu, Lange kemudian bisa
merebut hati Raja Kesiman, I Gusti Gde Ngurah Kesiman. Dia mendapat kepercayaan
yang luar biasa dari raja berpengaruh di kerajaan Badung itu. Malah, dia
ditunjuk sebagai syahbandar di pelabuhan Kuta. Lange pun bisa menjalin hubungan
yang cukup baik dengan Dewa Agung Klungkung yang dianggap sebagai sesuhunan
raja-raja Bali-Lombok. Kepercayaan besar yang diberikan Raja Kesiman memang
sangat menguntungkan posisi Lange. Dia dapat memegang monopoli perdagangan
seperti budak hingga uang kepeng Cina yang ketika itu menjadi mata uang yang
paling banyak beredar. Kapal-kapal Lange pun terus bertambah dan pada waktu itu
sudah mencapai 15 buah sehingga aktivitas perdagangannya juga sudah meluas
sampai ke Asia.
Lange juga memerankan politik
standar ganda. Sesuatu yang sangat ironis, selain menjadi kepercayaan raja-raja
Bali, Lange juga dipercaya menjadi Wakil
Pemerintah Hindia Belanda di Bali. Dalam posisi inilah dia banyak berperan
dalam perkembangan politik Bali. Bahkan,
dengan politik diplomasinya Lange dapat dianggap berjasa dalam mewujudkan
perdamaian antara raja-raja Bali dan Belanda pascaperistiwa
Perang Kusamba, 24-25 Mei 1849.
Tatkala pemimpin pasukan Belanda,
Letkol van Swieten hendak menyerang Klungkung setelah berhasil menduduki
Kusamba, Lange menakut-nakuti Sweiten dengan menyatakan di Klungkung telah
berkumpul 33.000 pasukan yang siap membela Dewa Agung jika Belanda menyerang.
Pasukan itu merupakan gabungan dari Tabanan, Badung, Gianyar dan Mengwi.
Belanda akhirnya menyurutkan langkahnya menyerang Klungkung. Lange dan
sahabatnya, Raja Kesiman berhasil meyakinkan Belanda bahwa keinginannya
menyerang Klungkung akan berakibat fatal.
Puncak dari perdamaian itu adalah
ditandatanganinya perjanjian antara Belanda dan raja-raja Bali
di rumah Mads Lange sendiri di Kuta, tanggal 13 Juli 1849. Walaupun perjanjian
itu secara politis merugikan Bali, namun hasil
yang dicapai saat itu tergolong maksimal.
Namun, perdamaian itu juga
merupakan sebuah kemenangan bagi Lange. Perdamaian di Bali memang sangat
dikehendakinya. Pasalnya, berlarut-larutnya perang sangat merugikan
perdagangannya. Karena itulah, jalan damai diusahakannya untuk menyelesaikan
sengketa antara Belanda dengan Klungkung.
Pengaruh besar pengusaha dalam
politik juga ditunjukkan ketika pecahnya peristiwa Puputan Klungkung, 28 April 1908. Seperti
diungkap dalam sumber-sumber sejarah, pecahnya peristiwa Puputan Klungkung
dipicu oleh kontrak politik tertanggal 17 Oktober 1906 yang ditandatangani Raja
Klungkung dengan Belanda. Dalam kontrak politik itu secara tegas disebutkan
Raja Klungkung harus menyerahkan kepada Gubernemen (Belanda) kekuasaannya
memungut bea cukai atas barang-barang keluar-masuk kerajaan Klungkung, bea
labuh batu atau cukai pelabuhan, serta hak monopoli candu.
Perjanjian ini tidak saja
merugikan para pembesar Kerajaan Klungkung, tetapi juga para syahbandar
kerajaan yang umumnya telah dipercayakan kepada orang-orang Cina. Para syahbandar Cina itu biasa melakukan bayaran borongan
terhadap monopoli penjualan candu kepada raja setempat, jauh sebelum Belanda
menawarkan kontrak politik. Penandatanganan perjanjian itu jelas menyebabkan
kerugian para syahbandar Cina.
Salah seorang syahbandar Cina,
Jap Sin Liat yang juga menjabat sebagai syahbandar dalam salah satu pelabuhan
di wilayah Kerajaan Karangasem masih mempunyai hak kontrak monopoli penjualan
candu di wilayah Kerajaan Klungkugn selama 19 tahun lalu. Perjanjian dengan
Belanda telah membatalkan haknya tersebut. Jap Sin Liat lalu bersekutu dengan
kelompok ekstrem di Kerajaan Klungkung yang dipimpin Cokorda Gelgel (paman
raja) untuk mulai mengadakan perlawanan terhadap keserakahan Belanda.
Persekutuan untuk melawan Belanda itu akhirnya memantik ketegangan antara
Belanda dan Klungkung hingga berakhir dengan peristiwa Puputan Klungkung, 28 April 1908.
Begitulah koalisi pengusaha dan penguasa dalam
bentangan sejarah perpolitikan Bali di masa
kerajaan silam. Hingga kini, kasus-kasus seperti itu juga terus berbiak, bahkan
lebih hebat lagi.
Teks: Sujaya
Foto: Repro
Tidak ada komentar:
Posting Komentar