Pura Luhur Uluwatu merupakan
salah satu pura penyungsungan jagat (pura umum) dengan status pura sad kahyangan (enam pura penting) yang menawarkan vibrasi
kesucian dan keindahan tersendiri. Letaknya di ujung bukit Pecatu menggambarkan
adanya pertemuan gunung dan laut. Di sinilah, masyarakat Pecatu dan Bali pada
umumnya meyakini tempat jejak terakhir Danghyang Dwijendra sebelum akhirnya
moksa mencapai surga.
Diceritakan pada suatu hari yakni pada Anggara
Kliwon, Wuku Medangsia, Danghyang Dwijendra menerima wahyu sabda Tuhan bahwa ia pada hari itu mesti berangkat ke
sorga. Pendeta Hindu asal Jawa Timur yang juga menjadi bhagawanta (pendeta
kerajan) Gelgel pada masa keemasan Dalem Waturenggong sekitar 1460-1550, merasa
bahagia karena saat yang dinanti-nantikannya telah tiba. Namun, pendeta yang
juga memiliki nama Danghyang Nirartha itu masih menyimpan satu pusataka yang
bakal diberikan kepada putranya.
Di bawah ujung Pura Uluwatu,
tampak seorang nelayan bernama Ki Pasek Nambangan. Danghyang Dwijendra meminta
agar Ki Pasek Nambangan mau menyampikan kepada anaknya, Empus Mas di desa Mas
bahwa Danghyang Dwijendra menaruh sebuah pustaka di Pura Luhur Uluwatu.
Ki Pasek Nambangan pun memenuhi permintaan Danghyang
Nirartha. Sementra Ki Pasek Nambangan pergi, Danghyang Dwijendra melakukan yoga
samadhi. Akhirnya, sang maharsi pun moksa ngeluhur, cepat sebagai kilat terbang ke
angkasa. Ki Pasek Nambangan hanya melihat cahaya cemerlang mengangkasa.
Begitulah sekelumit kisah yang
tertera dalam Lontar Dwijendra Tatwa seperti ditulis IGB Sugriwa dalam
bukunya berjudul Dwijendra Tatwa (1991). Kitab ini memang menceritakan
perjalanan suci Danghyang Dwijendra hingga ia moksa di Pura Luhur Uluwatu.
Kisah dalam lontar inilah yang mendasari keyakinan warga Desa Pecatu maupun
masyarakat Bali perihal moksa-nya Danghyang Dwijendra di pura ini. Saat moksanya Danghyang Dwijendra diperingati sebagai pujawali di Pura Goa Lawah, yakni saban Anggarakasih Medangsia.
Tidak diketahui secara jelas
kapan pura yang berada di ujung selatan bukit Desa Pecatu, Kecamatan Kuta
Selatan, Badung didirikan. Jro Mangku Gde Ktut Soebandi memang menyebut pura
ini dibangun oleh Mpu Kuturan atau Mpu Rajakreta pada masa pemerintahan
suami-istri Sri Msula-Masuli pada sekitar abad XI. Hal ini, menurut Jero Mangku
Soebandi seperti ditulis dalam buku Sejarah Pembangunan Pura-pura di Bali
(1983) termuat dalam lontar Usana Bali.
Namun, ada fakta menarik dari
tinggalan historis di Pura Luhur Uluwatu. Tinggalan kuno di pura ini berupa candi kurung atau kori
gelung agung yang menjulang megah membatasi areal jaba tengah dengan jeroan
pura, diprediksi pura ini sudah ada sejak abad ke-8. Candi kuno itu menatahkan
hitungan tahun Isaka dengan candrasangkala gana sawang gana yang berarti tahun
Isaka 808 atau sekitar 886 Masehi. Jadi, sebelum datangnya Mpu Kuturan ke Bali.
Yang pasti, Pura Luhur Uluwatu
hingga kini memegang peranan penting sebagai istadewata di Bali. Dalam padma
bhuwana Bali, pura ini berada di arah Barat Daya (nriti), tempat memuja Ida
Sang Hyang Widhi Wasa dealam manifestasi Rudra. Tradisi di Pecatu menyebut
dengan nama Ida Bhatara Lingsir.
Pura ini juga kerap
dipilih sebagai tempat melaksanakan upacara nyegara gunung, maajar-ajar, seusai
upacara mamukur atau pun piodalan besar di desa. Hal ini dikarenakan posisi
geografis pura ini yang mengisyaratkan pertemuan antara gunung dan laut secara
langsung seperti halnya Pura Goa Lawah di Desa Pesinggahan, Kecamatan Dawan,
Klungkung.
Selain posisi geografis, keunikan
lain dari Pura Luhur Uluwatu adalah arah pemujaan yang menuju Barat Daya.
Lazimnya, di parhyangan-parhyangan lainnya, arah pemujaan menuju Timur atau
Utara. Pelinggih-nya juga tidak begitu banyak. Di jeroan hanya ada meru tumpang tiga (bertingkat tiga) menghadap ke timur laut, di depannya berdiri dua pengapit. Bagian jeroan
ini dibatasi kori gelung agung berarsitektur kuno yang juga menjadi ciri khas
pura ini.
Di areal jaba tengah berdiri Pura Luhur tempat
berstananya Ida Batara Lingsir Siwa-Rudra. Di luar pagar pembatas sebelah kiri
berdiri Pura Tirtha. Di jaba sisi, sebelah kiri pintu masuk barulah terdapat
Pura Jurit. Di tempat inilah diyakini Danghyang Dwijendra mencapai moksa. (b.)
Tempat surfing terindah ombaknya di dunia..para pemain surfing dunia mengadu nyali karena ombak uluwatu sangat bagus. Matur suksame
BalasHapus