Galungan dan Kuningan, Tradisi Galungan dan Kuningan, Ngelawang, Barong
Teks dan Foto: Desu Jaya
Selain penjor, ikon Galungan yang lain yakni tradisi ngelawang. Manakala
hari raya Galungan dan Kuningan tiba, kegiatan ngelawang pun datang. Sekelompok
anak-anak dengan riang mengarak barong keliling desa lengkap dengan gamelan
pengiringnya.
Ngelawang memang menjadi salah
satu ciri khas perayaan hari suci Galungan dan Kuningan di Bali. Di tahun
70-80-an, tradisi ngelawang malah
menjadi sesuatu yang dinanti-nanti. Waktu itu jalan-jalan di desa masih sepi,
tak ada kendaraan yang melintas sehingga ngelawang
menjadi tontonan yang sangat memikat.

Menurut penulis buku-buku agama
Hindu, I Gusti Ketut Widana, dulu ngelawang
biasanya mulai dilaksanakan sejak Buda Pon Wuku Sungsang (sehari sebelum
Sugihan Jawa) yang dikenal dengan sebutan Sugihan Pangenten. Dalam praktiknya, ngelawang ini berupa pertunjukan tari
wali barong dengan mengelilingi wilayah desa dan melewati setiap lawang (pintu pekarangan rumah
penduduk).
“Tujuan filosofisnya adalah agar
para bhuta kala dengan segala kekuatannya kembali ke
alam asalnya,” kata Widana dalam buku Lima Cara Beryadnya.
Pada saat berlangsungnya ngelawang ini, para pemilik rumah yang
dilalui akan keluar mempersembahkan upakara/banten
termasuk sesari (uang) sebagai haturan. Selain mempunyai tujuan filosofis,
tradisi ngelawang juga mempunyai tujuan melestarikan tradisi berkesenian yang
berhubungan dengan perayaan hari suci Hindu. Juga, untuk menumbuhkembangkan
jiwa berkesenian sekalian untuk pengenalan lingkungan.
Kini, ngelawang memang masih kerap bisa dijumpai di desa-desa, termasuk
juga di sebagian wilayah perkotaan. Di Ubud misalnya, tradisi ngelawang hingga kini measih menjadi
tradisi yang disambut dengan sumringah-riah.
Namun, ngelawang Galungan kini
tak seutuhnya didasari motivasi ngayah.
Tak sedikit orang-orang ngelawang
dengan maksud untuk mengumpulkan sesari. Tengok saja aksi ngelawang Galungan yang dilakukan anak-anak dan remaja di Ubud
kerap menjadikan sejumlah restoran sebagai tempat favorit karena di tempat itu
mereka mendapat sesari yang cukup besar. Kalau di rumah-rumah mereka biasanya
mendapat sesari hanya Rp 2.000, di restoran-restoran itu mereka bisa
mendapatkan Rp 50.000.
Namun, terlepas dari segala
penyimpangannya, tradisi ngelawang
patut terus dijaga dan dikembangkan. Pasalnya, ngelawang bukan semata sebagai
bentuk pelestarian kesenian, tetapi juga membawa pesan bagaimana agar
masyarakat Bali saling mengenal lingkungannya
lalu menjalin keakraban. Dengan berkeliling ke desa-desa sekitarnya, praktis
terbangun interaksi antarakelompok warga yang ngelawang dengan krama desa
yang dikunjungi.
Dari sinilah kemudian terbangun
komunikasi, membentuk hubungan yang harmonis. Antarkrama menjadi saling
mengenal, saling mengerti dan saling memahami. Dengan begitu, kesalahpahaman
bisa dicairkan dan konflik bisa dicegah. (b.)
Di artikel ini tertulis " menurut penulis buku buku agama hindu, I Gusti Ketut Widana " . Bolehkah saya tau lebih spesifik lagi judul bukunya, yang menjelaskan tentang isi artikel ini?
BalasHapus