SETIAP menyambut hari suci Galungan, yang mengundang kebahagiaan
pada diri Wayan Kusuma Putra (39) yakni ketika membuat penjor. Mulai empat hari
menjelang Galungan, Wayan sudah sibuk membeli aneka perlengkapan untuk membuat
penjor. Diawali dengan mencari bambu yang bentuknya paling bagus dengan
kelengkungan yang sempurna, membeli daun rontal, membuat reringgitan atau aneka
kreasi hiasan penjor. Harapan Wayan hanya satu, penjornya tidak kalah saing
dengan penjor-penjor tetangganya.
“Malu juga kalau penjor kita
sekadarnya. Ya, setidak-tidaknya sedikit bisa sepadan kualitasnya dengan
penjor-penjor tetangga. Biar kelihatan juga megalungan (merayakan hari
Galungan). Hari Galungan kan
hari kemenangan, jadi mesti meriahlah,” kata Wayan yang sehari-hari bekerja
sebagai karyawan hotel di kawasan Seminyak.
Memang, jika diamati penyambutan
hari suci Galungan di Bali kini sepertinya meriah sekali. Sebagai ciri
kemeriahan itu, penjor yang dipancangkan di sisi kanan depan rumah
masing-masing warga belakangan semakin mewah, indah dan memesona. Jika dulu
penjor Galungan relatif sederhana, kini benar-benar mengagumkan lengkap dengan
aneka kreasi seni.
Cobalah tengok keberadaan penjor
di desa-desa seeperti Kerobokan, Kuta, Legian (Badung), Ubud, Gianyar, serta di
Denpasar. Kebanyakan bentuk penjor Galungan penuh dengan kreasi seni. Bambu penjor
dibungkus dengan kertas aneka warna. Bahkan ada juga yang membungkus dengan
kain beludru. Dilengkapi lagi dengan padi serta berbagai jenis palagantung
serta sampian penjor yang berukuran jumbo, penuh warna. Banyak yang menyebut
penjor-penjor kini saling paenjorin, jor-joran.
Karena tampilan penjor yang mewah
itu, biaya yang dihabiskan juga tak tanggung-tanggung. Paling murah, sebuah
penjor menghabiskan dana Rp 100.000. Namun, rata-rata menghabiskan biaya Rp
300.000-Rp 500.000. Bahkan, ada juga yang menghabiskan biaya Rp 1.000.000 untuk
sebuah penjor.
Kondisi ini diakui Ketua Parisada
Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali,
Dr. I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si. Menurutnya, jika membuat penjor yang mewah
dilandasi oleh hati yang tulus dan kemampuan, tentu bagus sekali. Namun, yang
patut dipertimbangkan kembali, jika membuat penjor mewah itu dilandasi oleh
perasaan malu dengan tetangga. Apalagi jika membuat penjor mewah didasari oleh
keinginan untuk bersaing atau jor-joran.
“Ketika ber-yadnya tidak boleh
karena majengah-jengahan atau jor-joran. Tidak baik ber-yadnya dengan sarana
yang melebihi kemampuan yang dimiliki. Begitu juga ketika membuat penjor
sebagai sarana upakara ketika ber-yadnya saat hari suci Galungan,” kata Sudiana.
Menurut Sudiana, umat Hindu mesti
membuat penjor sesuai kemampuan. Jika memiliki sedikit, cukup membuat penjor
yang sederhana. Jika memiliki lebih, boleh-boleh saja membuat penjor yang lebih
istimewa tetapi tetap harus didasari niat yang tulus, suci dan ikhlas.
“Yang harus diingat, inti dari
yadnya adalah hati yang suci, tulus dan ikhlas. Ber-yadnya itu bukan arena
untuk pamer untuk menunjukkan kekayaan,” kata Sudiana mengingatkan.
Sudiana menambahkan, penjor yang
baik bukanlah penjor yang menelan biaya mahal. Penjor yang sederhana dengan
biaya seadanya juga bisa menarik dan enak untuk dipandang. Pasalnya, yang
menentukan adalah bagaimana menghias penjor itu dengan baik.
Namun, Sudiana mengajak umat
Hindu untuk beragama dengan cara yang lebih rasional. Galungan, kata Sudiana,
merupakan hari suci sebagai momentum untuk mulat sarira, introspeksi atau
melihat ke dalam diri. Saat Galungan umat diharapkan bersyukur atau segala
karunia Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan berdoa agar dunia semakin sejahtera,
aman, tenteram dan damai. Karena itu, perlu ditumbuhkan sikap bisa dan mau
merasakan penderitaan orang lain.
Jika kini kita membuat penjor
terlampau mewah lalu memunculkan perasaan yang tidak baik dari tetangga, tentu
yadnya tersebut kurang sesuai dengan amanat hari suci Galungan. “Ketika
Galungan, termasuk saat membuat penjor, kita harus bisa menjaga perasaan orang
lain, sehingga ikatan kebersamaan dalam masyarakat tetap bisa terjaga dengan
baik,” kata Sudiana.
Sudiana kemudian mencontohkan,
jika ketika membuat penjor biasanya menghabiskan biaya Rp 500.000, alangkah
baiknya jika yang dimanfaatkan hanya Rp 100.000. Sisa dana itu di-dana
punia-kan ke panti asuhan, panti jompo atau membantu orang lain yang kurang
mampu.
“Jika bisa begitu kan bagus. Ber-yadnya tetap bisa, membuat
penjor yang baik juga bisa serta yang lebih penting membantu sesama juga bisa
serta dengan tetangga juga tetap baik karena bisa menjaga perasaan orang lain.
Justru itulah yadnya yang utama,” tandas Sudiana. (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar