Sudah sejak dua bulan lalu, banjar-banjar di seantero Bali
disibukkan dengan aktivitas membuat ogoh-ogoh. Yang paling sibuk tentu saja
anak-anak muda yang tergabung dalam sekaa teruna. Mereka sibuk memikirkan tema
ogoh-ogoh yang akan dibuat. Umumnya memilih tema bhuta kala. Namun belakangan
ada yang mengambil tema-tema kontemporer, seperti antikorupsi. Kesibukan para
pemuda membuat ogoh-ogoh semakin terasa kuat sebulan terakhir.
Jika mau berkeliling ke banjar-banjar di kawasan Badung,
Denpasar, Gianyar dan Tabanan, tampilan ogoh-ogoh semakin mengesankan. Jika
dulu ogoh-ogoh hanya berwujud tunggal, kini sudah menampilkan beberapa sosok
sekaligus. Hebatnya lagi, beberapa sosok itu ditampilkan dalam suatu gambaran
kisah pertarungan. Secara teknik pun menjadi mengesankan karena tumpuan
ogoh-ogoh hanya satu kaki atau satu tangan salah satu tokoh ogoh-ogoh.
Pengamat seni dari ISI Denpasar, Kadek Suartaya berkali-kali
memuji kemajuan teknik pembuatan ogoh-ogoh ini. Hal ini, kata Kadek Suartaya
menunjukkan adanya perkembangan kerativitas anak-anak muda. Perkembangan ini,
kata Kadek, mesti disambut positif dan diberi saluran yang tepat agar
bermanfaat.
Perkembangan kreativitas pemuda ini tampaknya banyak dipicu
oleh gelaran lomba ogoh-ogoh yang biasanya difasilitasi pemerintah atau pun
desa adat. Motivasi untuk tampil sebagai pemenang mendorong lahirnya
kreativitas baru, baik dari segi tampilan ogoh-ogoh maupun teknik pembuatannya.
Ketua PHDI Bali, IGN Sudiana menyambut positif adanya lomba
ogoh-ogoh itu. Menurut Sudiana, melalui lomba ogoh-ogoh, karakter budaya Bali
semakin tercermin. Dalam karakter itu terjadi proses pembacaan kembali sastra
agama yang dirujuk sebagai sumber tema pembuatan ogoh-ogoh.
“Itu artinya secara agama cukup baik, ada proses belajar
agama di tingkat anak-anak muda. Kita di Bali belajar agama kan memang begitu,
tidak semua bisa langsung melalui sastra agama tetapi melalui media ogoh-ogoh
ini sesungguhnya juga belajar sastra agama,” ujar Sudiana.
Itu sebabnya, penulis buku-buku agama Hindu yang juga mantan
dosen IHDN Denpasar, I Ketut Wiana menyatakan meskipun ogoh-ogoh tidak
disebutkan dalam sastra agama, keberadaannya merupakan tradisi serangkaian
perayaan hari Nyepi yang positif bagi pembinaan kreativitas generasi muda
Hindu. Hanya memang, menurut Wiana, para panglingsir atau pun prajuru banjar
mesti tetap mengarahkan anak-anak muda itu agar dalam memilih tema ogoh-ogoh
tetap mengacu pada sastra agama.
“Ingat ogoh-ogoh itu bukan wujud setan, tetapi bhuta kala.
Bhuta kala itu bukan setan. Bhuta kala itu cerminan rasa cemas kita yang
mengerikan dalam menjalani hidup dan kehidupan. Rasa cemas itulah yang kita
somya atau netralisir di hari pergantian tahun menuju kehidupan baru yang lebih
baik,” tegas Wiana.
Karena itu, pembuatan atau pun pengarakan ogoh-ogoh
sebaiknya tidak terlalu berlebihan. Jangan malah sebaliknya, ogoh-ogoh menjadi
kontraproduktif karena memicu masalah sosial baru, seperti bentrokan atau pun
perilaku negatif seperti mabuk-mabukkan atau pun menghambur-hamburkan uang.
“Istilah anak-anak muda sekarang, jangan lebaylah. Lebay itu kan
berlebihan. Jadi, menurut anak-anak muda juga berlebihan itu tidak baik,” kata
Wiana. (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar