Menu

Mode Gelap
Tunduk Pada Pararem, LPD Kedonganan Terapkan Laporan Keuangan Adat Bebantenan, Cara Manusia Bali Menjaga Alam Semesta SMAN 1 Ubud dan SMAN 2 Semarapura Juarai Lomba Bulan Bahasa Bali di UPMI Bali Bulan Bahasa Bali VI Jalan Terus, Tapi di Hari Coblosan “Prai” Sejenak Konservasi Pemikiran dan Budaya Melalui Gerakan Literasi Akar Rumput

Bale Bengong · 14 Jul 2008 09:00 WITA ·

PKB dan Dokumentasi Kebudayaan Bali


					Salah satu pementasan kesenian dalam Pesta Kesenian Bali (PKB). Perbesar

Salah satu pementasan kesenian dalam Pesta Kesenian Bali (PKB).

Pesta Kesenian Bali (PKB) yang diarsiteki Prof. Dr. Ida Bagus Mantra memang lebih dari sekadar sebuah ide cerdas. Gelaran budaya ini memang sebuah strategi kebudayaan yang penuh perhitungan dari seorang pemikir kebudayaan yang kebetulan saat itu menjabat Gubernur Bali. Betapa tidak, PKB digarap pada awal masa kepemimpinan Mantra. Artinya, Mantra memang menempatkan kebudayaan sebagai landasan dasar pembangunan Bali.

Seperti tercantum dalam bukunya berjudul, Landasan Kebudayaan Bali, Mantra meniatkan PKB sebagai sebuah upaya penggalian semua potensi budaya tradisi Bali untuk dilestarikan dan dikembangkan sesuai dengan perkembangan dan kemajuan, melalui revitalisasi, kegiatan menghidupkan kembali unsur-unsur yang potensial, sehingga tradisi yang luhur ikut serta dalam upaya-upaya pembangunan sebagai pendorong yang menjiwainya.

Dalam pesta seni, semua pihak akan dapat menyajikan perkembangan hasil-hasil karyanya sehingga mereka dapat menempati kedudukan yang sama dalam kemajuan. Tujuan PKB ini kemudian diterjemahkan penyelenggara dengan kegiatan penggalian, pelestarian dan pengembangan kesenian Bali pada khususnya dan kebudayaan Bali pada umumnya.

Seni-seni tradisi yang langka ditampilkan kembali, direvitalisasi untuk membangkitkan kesadaran masyarakat guna memelihara dan melestarikan seni tradisi tersebut. Selain itu, upaya mengasah daya kreasi, mencipta karya-karya seni baru dan bermutu dibangkitkan. Muaranya, kesenian Bali bisa terus berkembang dan semakin kaya tentunya.

Namun, selama 30 tahun perjalanannya, PKB lebih cenderung menjadi sebuah ajang pentas semata. PKB belum secara utuh bisa menerjemahkan aspek penggalian, pelestarian dan pengembangan kebudayaan Bali.

Kegiatan penggalian, pelestarian dan pengembangan seyogyanya bukan sekadar sebuah upaya menghadirkan kembali. Namun juga sebuah upaya untuk merevitalisasi, menghidupkan kembali. Dan, menghidupkan kembali bukan untuk mati lagi, tetapi bisa tetap hidup, bahkan berkembang. Dalam kaitan ini, dokumentasi menjadi hal yang amat penting.

Dokumentasi bukan sekadar upaya untuk mengabadikan, tetapi lebih jauh dari itu adanya upaya penelitian, pemetaan dan pengkajian. Bagian ini, tampaknya belum mendapat perhatian besar dari penyelenggara PKB.

Selain memberikan kesempatan kepada seni-seni tradisi maupun modern untuk tampil, patut juga dilakukan penelitian, pemetaan dan pengkajian atas produk kesenian tersebut. Selanjutnya, hasil penelitian, pemetaan dan pengkajian itu didokumentasikan secara lengkap dan utuh, baik dalam bentuk cetak (buku) maupun dalam bentuk dokumen audio-visual (film, kaset, foto dan sejenisnya). Dokumentasi semacam ini amat berharga, tidak saja bagi orang Bali, tetapi juga orang luar (asing) yang hendak belajar kebudayaan Bali.

Dengan dokumentasi yang baik, Bali tidak perlu lagi merengek-rengek meminta izin kepada negara asing untuk belajar kebudayaannya sendiri seperti yang selama ini terjadi. Saya mendambakan saban pelaksanaan PKB penyelenggara menyediakan anggaran dan ruang bagi para peneliti, pengamat dan praktisi seni dan kebudayaan Bali untuk melakukan penelitian, penggalian, pemetaan, pengkajian serta pendokumentasian kebudayaan Bali. Selanjutnya, dokumentasi dari kerja budaya itu bisa diakses oleh publik.

Tentu saja, kerja pendokumentasian seperti ini membutuhkan dana yang besar serta waktu yang lama. Karena itu, dalam setiap pelaksanaan PKB, cukup dipilih salah satu jenis kesenian atau tradisi budaya yang dimiliki masyarakat Bali. Misalnya, untuk PKB tahun 2009 mendatang, pendokumentasian difokuskan untuk kesenian Tari Sanghyang.

Maka, dari sekarang kegiatan penggalian dan penelitian sudah dilakukan. Jenis-jenis Tari Sanghyang yang ada diinvetarisasi, diklasifikasi dan dipetakan secara jelas dan lengkap. Selanjutnya, dalam PKB 2009, hasil penelitian itu dikaji dalam suatu seminar khusus. Seminar ini tidak saja untuk mengkaji dari aspek keilmuan, tetapi juga mendapatkan masukan dari masyarakat dan seniman.

Selain itu, tentu saja dirumuskan strategi pelestarian dan pengembangan kesenian tersebut. Setelah itu, barulah didokumentasikan dalam bentuk buku atau pun film. Tahun-tahun selanjutnya, langkah serupa juga seyogyanya diterapkan.

Bila langkah ini bisa dilakukan setiap pelaksanaan PKB, maka kekayaan seni dan budaya Bali akan bisa terselamatkan. Kita bisa dengan mudah mendapatkan informasi yang lengkap, jelas dan tuntas mengenai kebudayaan Bali.

Yang tak kalah pentingnya, generasi muda Bali akan dengan mudah memeriksa kekayaan seni dan budayanya dan diharapkan muncul kesadaran budaya untuk memikul tanggung jawab mengembangkan kebudayaannya. Bukankah PKB pada awalnya memang diniatkan sebagai media transformasi budaya kepada generasi muda Bali sehingga jadwal pelaksanaannya dipilih saat masa liburan sekolah? (b.)

  • Penulis: I Made Sujaya
  • Penulis adalah dosen Prodi PBID, FPBS, IKIP PGRI Bali
Artikel ini telah dibaca 73 kali

badge-check

Redaksi

Baca Lainnya

Konservasi Pemikiran dan Budaya Melalui Gerakan Literasi Akar Rumput

21 Desember 2023 - 05:06 WITA

Bertapa Kata-kata di Era Media Sosial [Renungan Hari Saraswati]

20 Mei 2023 - 06:10 WITA

Literasi di Tengah Tantangan Ekonomi Orang Tua Siswa: Catatan Safari Literasi Akar Rumput di Jembrana

14 Mei 2023 - 11:40 WITA

Menguak Hegemoni Teks Ilmiah di Kampus: Catatan Safari Literasi di UPMI Bali

25 Maret 2023 - 09:17 WITA

Menggiring Bebek: Catatan dari Sebuah Lomba Menulis Esai

12 Desember 2022 - 18:39 WITA

Sekeping Kisah Guru dari Kaki Gunung Batukaru

25 November 2022 - 16:30 WITA

Trending di Bale Bengong