Made Kerta menggumam setelah dibentak seorang pecalang (satuan pengamanan tradisional adat Bali) saat melintas di salah satu ruas jalan di wilayah Badung. Ketika itu, jalan ditutup karena pada salah satu pura di jalan tersebut sedang melaksanakan pujawali (upacara hari kelahiran pura). Made Kerta diminta untuk berbalik arah mencari jalan yang lain. Namun, pecalang tersebut menyuruh dengan nada suara tinggi, membentak-bentak.
“Lagaknya jadi pecalang, sedikit-sedikit main bentak. Katanya ngayah (mengabdi) agar yadnya (upacara) berjalan dengan baik dan diberkahi, mengapa mesti membentak,” gumam Made Kerta sembari memutar arah kendaraannya mencari jalan alternatif.
Sejatinya, banyak orang yang pernah kena bentak pecalang. Entah apa yang menyebabkan, setiap kali menutup jalan, pecalang susah sekali menunjukkan senyum, bersikap ramah. Cepat sekali sang pecalang itu marah, garang dan main bentak.
“Pecalang sebagai salah satu pengayah (pelayan publik) di desa, sejatinya ikut ngeyasayang (mendoakan) agar pelaksanaan yadnya sukses, lancar, dan penuh berkah dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Seyogyanya, pecalang juga ikut mabrata (mengendalikan diri). Tidak boleh cepat marah atau pun garang,” kata Kadek Ardana, seorang warga di Klungkung.
Yang juga penting untuk diperhatikan mengenai masalah penutupan jalan. Patut diwaspadai agar pecalang tidak merasa bangga bisa menutup jalan. Karena itu, ketika hendak menutup jalan, pecalang semestinya berkoordinasi dulu dengan pihak kepolisian. Pasalnya, pihak kepolisianlah yang memegang tanggung jawab keamanan umum. Jalan merupakan fasilitas umum, milik publik, banyak yang menggunakan sehingga juga menjadi tanggung jawab pihak kepolisian.
Benar memang, pecalang sebagai pengaman desa adat agar suasana desa menjadi aman, nyaman dan tenteram. Namun, tugas dan tanggung jawabnya lebih kepada pelaksanaan yadnya adat serta agama. Bila pun pecalang juga diberikan kesempatan untuk turut berpartisipasi menjaga keamanan umum, tetap harus dalam koordinasi pihak kepolisian.
“Tugas utama pecalang memang sebagai polisi adat dan agama. Itu saja,” kata peneliti adat Bali, Wayan P. Windia dalam buku Pecalang: Perangkat Keamanan Desa Pakraman di Bali.
Kata pecalang diduga berasal dari kata cala dan celang. Celang berarti ‘senantiasa waspada terhadap segala macam bahaya yang menghampiri’. Karena itu, pecalang diharapkan senantiasa celang (bersikap awas) ketika mengadakan ronda menjaga keamanan wilayah desa adat.
Selain celang, pecalang juga diharapkan celing (cermat dan cerdik). Celing berarti senantiasa tahu dan paham akan keadaan desa agar bisa menghilangkan bahaya yang mengancam.
“Karena itu, orang yang celang dan celing, biasanya tidak sombong. Senantiasa bersikap santun, ramah dan bisa menjaga hubungan baik dengan setiap orang,” kata Windia.
Aturan mengenai tugas pokok dan fungsi pecalang yang bisa dijadikan pegangan bagi seluruh pecalang di Bali hingga kini memang belum ada. Yang ada baru di Gianyar yang dirumuskan ketika dilaksanakannya Semiloka Pecalang di Ubud pada tahun 2001 lalu. Inti tugas pokok dan fungsi pecalang yang disepakati dalam semiloka itu yakni pecalang mesti menjaga keamanan dan kenyamanan desa dalam mengajekkan Tri Hita Karana di desa adat.
Namun, jika dicermati, dalam Peraturan Daérah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman sudah dijabarkan tentang tugas dan tanggung jawab pecalang yakni menjaga keamanan dan kenyamanan wilayah desa pakraman. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab pecalang itu berkaitan dengan pelaksanaan adat dan agama.
Intinya, pecalang diarahkan untuk membantu prajuru (pengurus) desa dalam mewujudkan ketenteraman desa. Karena itulah, pecalang tidak boleh lepas dari awig-awig desa serta undang-undang dan peraturan negara serta daerah. (*)
http://feeds.feedburner.com/balisaja/pHqI